About Us | 27

2 0 0
                                    

Tidak ada kehilangan yang tidak meninggalkan luka. Sering kali kehilangan justru meninggalkan luka yang begitu sangat meski tidak terlihat secara nyata.

Kehilangan itu terasa begitu nyata untuk Gavin. Dadanya terasa sesak dipenuhi dengan banyak duri. Katanya, laki-laki tidak boleh cengeng, jangan mudah menangis. Sayangnya, hari ini Gavin sedang meraung dengan air mata yang sudah berjatuhan.

Lantunan ayat suci Al-Quran terdengar jelas memenuhi ruangan di rumah Gavin. Banyak pasang mata yang menatap Gavin dengan iba. Tidak jarang bisik-bisik mereka mengatakan yang tidak-tidak.

Bahkan, Gavin belum sempat meminta maaf karena sering menatapnya dengan kilatan amarah. Kini, Gavin didekap oleh sanak keluarganya yang sudah datang. Mencoba menenangkan cowok yang terlihat selalu ceria itu.

Dunia Gavin benar-benar runtuh.

Kabar kecelakaan yang menimpa mamanya ia terima ketika baru saja sampai di rumah. Niat hati ingin meminta maaf dan memperbaiki semuanya, Gavin justru harus dihadapkan pada kehilangan.

Syaraf tubuh Gavin seakan tak berfungsi. Ponselnya lolos begitu saja dengan sambungan telepon yang masih tersambung.

"Gak mungkin," gumam Gavin. "Mama gak mungkin ninggalin gue. Mama gak mungkin pergi begitu aja."

Tubuh kecil dan ringkih yang biasa berlenggak-lenggok seperti model itu kini terbujur kaku. Gavin masih mengingat jelas jika dirinya terkadang merasa jengah melihat tingkah mamanya yang kelewatan.

"Ma, biasa aja kali. Kenapa jalannya gitu sih?"

"Mama mau jadi model. Kamu harus lihat cara jalan Mama pas turun tangga." Melani kembali naik lalu mulai menuruni anak tangga dengan langkah kaki yang perlahan. "Bagus, kan?" tanyanya setelah berhenti dan melakukan pose di hadapan Gavin.

"Jelek." Gavin berkata jujur. "Duduk aja, Ma. Buruan sarapan, Mama mau kerja kan?"

Sarapan pagi yang tak pernah terasa hangat, tapi mamanya selalu mencoba mencairkan suasana ketika papanya sedang tidak berada di rumah.

Saat itu, Gavin tidak peduli dan tidak merasa butuh. Namun, sepertinya mulai sekarang ia akan sangat membutuhkan itu.

Kini, Gavin sedang duduk di depan kamar Melani. Punggungnya menempel pada dinding, sementara lututnya ditekuk dengan tatapan mata yang kosong. Setelah meraung dan terus membisikan kata maaf pada Melani yang sudah tiada, Gavin dibawa oleh salah satu anggota keluarganya menjauh dari kerumunan.

"Gavin." Esta datang dan langsung menempatkan diri duduk di sebelah cowok itu. "Vin, gue turut berduka cita, ya," katanya terdengar lirih. Tangannya bergerak mengusap pelan bahu Gavin.

"Gue tahu kabar ini dari Tante Yusi. Beliau menghubungi gue biar lo gak sendiri." Esta kembali bersuara meski tak mendapat jawaban apapun.

Seseorang telah datang. Wajahnya kuyu, jejak air mata tercetak jelas di wajahnya. Ia berdiri menatap sepasang anak manusia yang sedang saling berhadapan.

Bianca akan menunggu. Kali ini, ia akan membiarkan Gavin bersama Esta. Dari cara Esta mencoba tersenyum dan mengusap pelan punggung Gavin, Bianca merasa semua akan baik-baik saja.

Entah berapa lama Bianca habiskan untuk menyaksikan Gavin berada dalam pelukan Esta, sampai akhirnya cewek itu pamit dengan ponsel di tangannya. Barulah Bianca berani melangkah untuk segera menghampiri Gavin yang kini kembali seorang diri.

"Vin," panggil Bianca pelan seraya menyentuh bahu Gavin. "Sorry, gue baru datang sekarang.

Gavin tidak menjawab apapun selain menarik tangan Bianca supaya cewek itu duduk di sebelahnya. Berhasil mendekat, Gavin tanpa memikirkan apapun langsung memeluk Bianca dan terisak pelan.

"Kenapa Mama pergi, Bi? Gue belum minta maaf sama Mama."

Pertemuan terakhir mereka begitu buruk. Gavin marah karena mamanya kembali berselingkuh. Dan lebih sialnya lagi, Gavin memilih pergi setelah pertengkaran kecil itu terjadi. Mungkin saja jika ia tetap di rumah semuanya akan baik-baik saja.

Selanjutnya, hanya ada suara isak tangis Gavin yang tertahan saja yang menjadi fokus Bianca. Tanpa mengatakan apapun lagi, ia memilih diam dan membiarkan Gavin menumpahkan isi netra. Sementara itu tangannya terus bergerak naik turun untuk menenangkan Gavin yang begitu terguncang.

Sama halnya dengan Gavin, Bianca juga terkejut mendengar berita ini. Dari bisik-bisik yang ia dengar tadi, katanya Melani mengalami kecelakaan saat menuju perjalanan kembali ke rumah. Mobil yang ditumpanginya bertabrakan dengan kendaraan lain.

Semuanya mendadak gelap. Bianca merasakan hal yang sama dengan Gavin. Kehilangan dan kesedihan yang teramat. Namun, ia tidak ingin menunjukan kesedihan itu. Meski sebenarnya ia yakin jika Gavin akan sadar jika matanya bengkak karena sepanjang jalan menangis.

"Tante Melan sayang banget sama lo, Vin," bisik Bianca tepat di sebelah telinga Gavin.

Malam itu, Bianca menyaksikan bagaimana rapuhnya Gavin. Tidak ada lagi Gavin yang menyebalkan dan membuatnya kesal. Malam itu, Bianca menemukan pilu yang sepertinya sudah lama disimpan Gavin sendirian. Tentang orang tuanya; Melani yang memilih selingkuh karena merasa kesepian, juga tentang Arya yang entah apa alasannya menikah lagi. Bianca hanya tahu jika Gavin sering tertawa, seperti tanpa beban menghadapi semuanya dengan santai.

Sekarang tidak. Bianca melihat kepingan luka itu berserakan. Di mata Gavin. Di antara isak tangis yang tertahan, dan di sela bibir yang bergetar membisikan kata maaf.

Luka itu kian menganga kala Arya tak kunjung datang meski hanya untuk sekadar memeluknya secara singkat. Arya memilih menghabiskan malam dengan keluarga barunya dan entah sedang berada di mana.

"Bi, ayo pulang." Sindi datang menghampiri Bianca dan Gavin. "Pemakaman Tante Melani akan dilakukan besok pagi. Sekarang, kita pulang dulu. Besok kita ke sini lagi," katanya dengan suara yang pelan.

"Tapi ... Gavin sendirian, Ma." Bianca mendongak untuk menatap mata mamanya. "Aku di sini aja, ya?"

"Pulang, Bi," potong Gavin dengan suara yang serak. "Besok lo harus sekolah."

Sindi tersenyum singkat. Kali ini, ia mengubah posisinya berjongkok di hadapan Gavin. Tangannya terulur untuk mengusap penuh kasih bahu teman dekat putrinya itu. "Ikhlaskan semuanya, Vin. Tante tahu ini terlalu berat untuk kamu, tapi Tante yakin kamu bisa melewati semua ini."

Kepala Gavin mengangguk cepat. "Iya, Tante."

"Kamu gak perlu merasa sendiri," kata Sindi berusaha memberi semangat. "Ada Tante, Om Fadil, dan tentu saja Bianca yang akan bersama kamu nantinya."

"Terima kasih," bisiknya.

"Sama-sama, Vin," balas Sindi. "Ayo pulang, Bi." Sindi beralih menatap Bianca.

Pandangan Bianca berpindah pada Gavin. "Vin, gue pulang dulu ya. Besok ke sini lagi. Janji."

"Terima kasih, Bianca."

About UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang