"Mama selingkuh lagi. Kali ini cowoknya ganti." Gavin memijat pelipisnya pelan. "Mereka kelihatan mesra banget," ujarnya kemudian tertawa hambar.
Cerita ini seharusnya ia simpan sendirian. Namun, entah bagaimana awalnya, Gavin tahu-tahu menghubungi Bianca dan menceritakan kejadian luar biasa yang telah ia saksikan.
"Lo serius? Temennya kali, Vin."
"Temen mana yang pegangan tangan sambil ciuman?"
Bianca membisu. Kehilangan kata hanya untuk sekadar kembali menyanggah pernyataan Gavin.
"Lo kenapa cerita tentang ini sama gue? Padahal lo benci sama gue, dan lo juga gak kenal gue aslinya kayak gimana," celoteh Bianca mencoba sedikit mengalihkan pembicaraan.
"Lo dekat sama Mama. Lo juga udah lihat sendiri kan waktu itu Mama lagi jalan sama cowok? Dan, gue gak benci lo. Gue cuma gak suka."
Bibir Bianca mencebik kesal. Meski begitu, ia tetap merasa dihargai karena Gavin mau bercerita tentang masalahnya meskipun mereka tidak begitu dekat dan baru beberapa kali bertemu.
Omong-omong soal pertemuan, hari ini pertemuan ke berapa antara Gavin dan Bianca? Gavin yang datang terlebih dahulu tanpa mengabari Bianca sedikit pun. Cukup mengejutkan, tapi tetap disambut dengan baik oleh Bianca yang sedang belajar untuk ulangan esok hari.
Sekitar pukul delapan, kedua anak manusia itu tenggelam dalam pikiran masing-masing. Gavin masih betah meski tak berbincang dengan Bianca yang sibuk menghitung bintang. Pandangannya lurus ke depan, mengingat kembali apa yang tadi sempat dilihatnya.
Laki-laki berbeda dengan penampilan yang lebih modis daripada sosok yang pertama kali ia jumpai. Gavin berpikir jika yang bersama mamanya lebih cocok untuk menjadi kakak atau pamannya, alih-alih sebagai selingkuhan mamanya.
Bianca membiarkan Gavin diam seperti patung. Ia sedang mencari bintang yang paling terang. Bintang yang selalu ia anggap sebagai bundanya yang sudah tiada. Sedang mengawasi dirinya dari atas sana dan memberinya kabar jika semua akan baik-baik saja.
"Lo udah suka sama gue?" tanya Gavin tiba-tiba.
Bianca langsung mengalihkan pandangannya ketika mendengar pertanyaan itu. "Enggak. Gue gak suka sama lo."
"Kalau gitu batalin aja perjodohan ini."
Bianca menghela napas kasar. "Perjodohan ini terjadi karena janji orang tua kita, Vin. Gue gak bisa batalin gitu aja. Alasannya tentu saja karena mau menepati janji yang Bunda buat, dan buat Papa happy."
"Lo tahu gak kalau di balik perjodohan aneh ini, bukan hanya karena soal janji." Gavin berkata cukup pelan, membuat sisi penasaran Bianca timbul ke permukaan. "Perjodohan ini jadi alasan supaya perusahaan Papa tetap aman. Secara tidak langsung, keluarga gue manfaatin keluarga lo, Bi."
"Gue gak peduli. Urusan itu biar jadi tanggung jawab Papa. Lagian orang tua lo gak mungkin buat Papa jadi menderita atau miskin kok." Bianca tahu bagaimana baiknya orang tua Gavin. Entah itu terselip urusan bisnis atau apa, ia tak paham dan enggan mau tahu.
Gavin meluruskan kakinya ke depan. Matanya terus tertuju pada Bianca yang kini kembali menatap langit. Cewek di sebelahnya ternyata memang keras kepala. Entah keras kepala atau memaksakan diri supaya orang lain bahagia.
"Gue mau kasih berita bahagia buat lo." Tanpa menatap Gavin, Bianca berkata begitu riang. "Bukan soal perjodohan. Pokoknya lo bakal bahagia deh," ungkapnya.
"Dosa tahu kalau buat orang lain jadi penasaran."
"Nanti gue kasih tahu."
"Kapan?"
"Ya nanti. Nanti itu kapan-kapan, Gavin. Jadi, ya tunggu aja."
Jarum sabar Gavin sudah di angka terakhir. Ia berdiri dari duduknya lalu membersihkan celananya sebentar menggunakan tangan. "Gue balik dulu. Makasih sudah menambah beban pikiran gue."
Bianca ikut berdiri. Ia masih betah tersenyum dan menangguk pelan. "Hati-hati di jalan!"
⌛⌛⌛⌛
Entah semesta sedang berencana apa, kegiatan belajar Bianca kembali terusik dengan kedatangan Melani hanya berselang dua puluh menit setelah Gavin pergi.
"Tante ganggu waktu belajar kamu ya, Bi?" Melani mengelus lembut puncak kepala Bianca. "Mama sama Papa gak ada di rumah?"
"Enggak. Aku udah selesai belajar kok." Tentu saja Bianca berbohong. "Iya, Mama sama Papa masih ada urusan di luar. Paling bentar lagi pulang."
Malam ini, Melani cantik dengan blouse bunga-bunga kecil berwarna merah muda, di padupadan dengan rok hitam polos yang panjangnya di bawah lutut.
"Tante pernah lihat kamu lagi beli kue bareng Gavin," katanya memulai kembali pembicaraan. "Hari itu, Tante yakin, kamu dan Gavin juga lihat sesuatu kan?"
"Sesuatu?"
Melani mengangguk cepat. "Ya. Kamu lihat Tante lagi jalan sama cowok, kan?"
Jadi, Tante Melani sadar? Bianca sangat terkejut mendengar kenyataan ini. Sangat terkejut sampai membuatnya kehilangan kata-kata. Apa yang dikatakan Melani justru membuatnya berpikir jika yang dipikirkan Gavin selama ini adalah kebenaran.
"Itu pacar Tante."
Bianca makin ingin pingsan saja rasanya. Mulutnya sedikit terbuka sebagai respons atas pengakuan Melani. Sejenak, Bianca mencoba mencubit lengannya beberapa kali. Hanya untuk memastikan jika yang terjadi sekarang bukan mimpi.
Tawa Melani menarik kembali kesadaran Bianca. Tangannya yang digenggam dan terasa hangat membuat ia semakin yakin jika yang sekarang merupakan kenyataan.
"Hari ini pacar Tante ganti." Melani menatap Bianca tepat di matanya. "Prama. Namanya Prama. Yang waktu itu namanya, Zian."
Lidah Bianca terasa kelu. Bibirnya tergugu untuk membalas apa yang dikatakan Melani.
"Dua pacar Tante sudah diketahui Gavin."
"Kenapa?" Hanya kata itu yang bisa ditanyakan oleh Bianca.
"Kamu mau bersama Gavin, kan?" Alih-alih menjawab pertanyaan Bianca, Melani justru melontarkan pertanyaan. "Tante percaya kamu sama Gavin bisa hidup berdampingan dengan baik."
"Aku sama Gavin masih sekolah, Tante." Bianca akhirnya bisa berbicara lebih banyak. "Kalau untuk sekadar berteman atau bersahabat, tentu saja aku bisa."
Melani mengulum senyumannya. "Berteman, bersahabat, atau apapun itu, terserah kamu. Tante cuma minta sama kamu, tolong temani Gavin."
Nada suara Melani terdengar pelan dan dalam. Bianca dapat merasakan kesedihan di antara kata yang terucap dari mulut perempuan cantik itu.
Semuanya terjadi begitu saja. Bianca diam mendengarkan kisah yang dituturkan Melani secara saksama. Kisah yang terdengar pilu bagi dirinya, membuatnya ikut merasakan sakit dan sesekali menggeleng tak percaya.
Tiap-tiap orang mempunyai lukanya sendiri. Ada yang memilih disimpan sendirian sampai membuat hatinya terus meringis. Beberapa lagi mencoba mencari pelampiasan agar luka itu tak terasa begitu sakit.
Melani ada di opsi kedua. Mencari pelampiasan yang nyatanya justru semakin membuatnya merasa tersiksa.
"Jangan diberitahu Gavin tentang ini semua. Temani dia saja."
"Iya, Tante."
KAMU SEDANG MEMBACA
About Us
Teen Fiction"Lo jahat." "Lo egois. Sadar!" Cinta bukan hanya tentang persamaan. Namun, perbedaan juga bisa menjadi alasan kenapa dua orang bisa bersama dalam ikatan cinta. Sayangnya, perbedaan Bianca dan Gavin terlalu banyak. Apalagi hubungan itu tak pernah me...