Akhirnya Bianca bebas.
Mulai besok, ia akan langsung pulang ke rumah setelah dari sekolah. Tidak akan ada lagi les piano, biola, dan kursus memasak. Les yang biasa ia ikuti satu per satu ditinggalkan. Tinggal tersisa beberapa les saja yang kini ia ikuti. Matematika dan beberapa pelajaran yang menurut papanya meraih nilai kecil.
"Loh, kok ada Gavin?" Bianca mengerutkan kening melihat Gavin sedang duduk bersama Pak Marno. "Dia ngapain balik lagi ke sini?"
Enggan menebak-nebak, Bianca segera menghampiri Gavin yang kali ini terlihat sedang tertawa riang dengan supir kebanggaannya. "Kok balik lagi, Vin? Ada yang ketinggalan?"
Tawa Gavin langsung berhenti. Detik berikutnya, ia langsung berdiri dan menghadap ke arah Bianca. "Ada. Kunci motor gue ketinggalan di tas lo."
"Please, kalau nyari alasan tuh yang masuk akal dong." Bianca berdecak malas. "Kenapa? Ada masalah apa sampai lo balik lagi?"
"Pulang sama gue, ya?"
Apalagi kali ini yang menimpa Gavin? Tumben sekali cowok itu menjadi begitu baik dan mau menawarkan diri terlebih dulu. "Gak bisa. Kasihan Pak Marno udah jemput gue. Kita bisa ngobrol di rumah aja gak?"
Gavin buru-buru menangguk. "Oke. Nanti kita ketemuan di rumah lo."
Di sepanjang jalan, Bianca mulai menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi pada Gavin. Namun, jika Gavin bertingkah aneh seperti ini, biasanya tidak akan jauh-jauh dari permasalahan dengan orang tuanya.
Beberapa menit dihabiskan Bianca dalam keheningan. Sesekali matanya mencoba memastikan jika motor Gavin mengikutinya di belakang.
Di kepalanya hanya ada nama Bianca yang terlintas ketika kakinya mulai keluar dari rumah. Tanpa mendengar jawaban dari pertanyaannya, Gavin memilih segera berlari ke kamar untuk mengganti seragam sekolahnya dengan pakaian yang lebih kasual. Setelah itu, ia kembali pergi lagi dengan tujuan bertemu dengan Bianca.
Setelah menempuh perjalanan beberapa menit, Bianca langsung bergegas turun dari mobil saat Pak Marno memarkirkan mobilnya di garasi.
"Ayo masuk. Kayaknya Mama juga ada di rumah deh." Bianca mengulurkan tangan untuk meraih lengan Gavin. "Lo kayak orang kelaparan tahu, Vin. Lo belum makan, ya?" tebaknya, melihat Gavin yang begitu lesu.
Gavin tertawa kecil. "Jago amat, lo. Ada cita-cita jadi cenayang ya sampai bisa menerawang kayak gitu?"
"Muka lo kayak cenayang," sungut Bianca menarik paksa tangan Gavin. "Buruan masuk. Lo harus makan biar gak cepat mati."
"Gue bakal abisin semua makanan, lo." Gavin terdengar seperti mengancam, tapi detik berikutnya ia tersenyum saat melihat Bianca yang begitu kuat menarik tangannya.
Sekarang, Gavin sedang duduk seorang diri. Sindi baru saja undur diri ke belakang untuk menyiapkan makanan. Tentu saja Gavin bersuka ria, sebab kalau boleh jujur, Gavin mulai lelah menghadapi pertanyaan Sindi yang seakan tidak ada akhirnya.
Bianca entah sedang melakukan ritual apa. Cewek itu masih belum menunjukan batang hidungnya sejak tadi berpamitan akan ke kamar untuk membersihkan diri. Sepertinya, Bianca sedang mandi susu, atau sedang luluran dari ujung kepala sampai ujung kaki, sehingga sudah hampir satu jam belum selesai juga.
"Ini padahal niat gue mau curhat, tapi malah ditinggal mandi selama ini." Gavin hanya mampu menghela napas lelah.
Wangi segar dari pengharum ruangan seketika samar dan bercampur dengan wangi manis yang menggelitik hidung Gavin. Rasanya ia hapal aroma ini. Dan benar saja ketika kepalanya berputar ke sebelah kanan, ia menemukan Bianca sudah berganti pakaian dengan rambut lurus yang kece badai.
"Gue pikir lo tenggelam di kamar mandi," celetuk Gavin.
"Padahal gue cuma sebentar," balas Bianca cukup paham apa maksud Gavin. "Maafin, Bianca ya, Gavin." Bianca berlari kecil untuk menghampiri Gavin.
Terasa manis dan menggiurkan. Gavin mulai yakin jika Bianca telah melakukan ritual mandi susu dan cokelat. Atau jika tidak, Bianca sepertinya telah menumpahkan semua minyak wangi ke tubuhnya.
"Iya, gue maafin," balas Gavin langsung.
"Terus kenapa lo nyamperin gue lagi?" Kali ini, Bianca menarik Gavin supaya kembali duduk. "Lo ada masalah sama siapa? Lo datang sama gue kalau lagi ada masalah doang soalnya."
Gavin mendelik, ingin protes, tapi yang dikatakan Bianca ada benarnya juga. "Mama pacaran lagi. Padahal kemarin-kemarin kayaknya Mama udah tobat."
"Jadi, lo kabur dari rumah?"
"Seratus buat lo. Gue kabur dari rumah karena malas lihat Mama."
"Tapi, Vin ... Tante Melan sebenarnya sakit. Ada penyakit yang bersarang di tubuhnya."
"Sakit? Sakit gimana maksud lo?" Seluruh perhatian Gavin kini tertuju pada Bianca, rasa penasarannya seketika menggunung. "Jelasin semuanya sama gue."
Bianca sudah tidak bisa menyimpan semuanya sendirian. Apa yang diceritakan Melani tempo hari itu terkadang membuatnya tak tenang. Berita itu cukup membuat Bianca terguncang, melongo tak percaya dan terus berpikir apa semua akan baik-baik saja jika ia diam dan tidak memberitahu Gavin?
"Lo mending tanyain langsung aja sama Tante Melan. Lo gak boleh benci sama beliau, Vin. Tante Melan punya alasan kenapa melakukan semua itu."
"Mama sakit apa? Apa dengan selingkuh, sakit Mama jadi sembuh?" Gavin mencoba menemukan jawaban dari Bianca. Cewek itu pasti mengetahui sesuatu tentang mamanya. "Jawab pertanyaan gue, Bi. Apa penyakit yang Mama idap cukup parah?" tanya Gavin penasaran.
Kepala Bianca mengangguk lemah. "Pulang, Vin. Temui Tante Melan dan lo harus bicara sama Om Arya tentang ini."
Gavin cukup paham apa maksud Bianca. Meski tidak sepenuhnya paham apa yang telah terjadi, ia langsung mengangguk. "Gue pulang dulu. Gue harus ketemu sama Mama."
"Hati-hati. Kabarin gue kalau udah sampai rumah," pinta Bianca yang dibalas senyuman tipis oleh Gavin.
Gavin berlari keluar rumah. Secepatnya ia harus bertemu mamanya. Seketika, Gavin merasa tidak berguna karena tidak mengetahui jika selama ini mamanya merasakan sakit dari segala sisi.
⌛⌛⌛⌛
Pernahkah kamu merasa dipermainkan semesta? Seolah diajak bergurau dengan keadaan yang membuatmu bukan tertawa, tetapi justru merana. Pernahkah merasa dunia begitu jahat sampai tidak diizinkan untuk meraih sesuatu yang begitu diinginkan?
Dadanya terasa begitu sesak. Di pipinya sudah seperti sungai yang mengalir deras karena hujan terus turun mengguyur. Pandangannya sudah tidak lagi jelas, buram entah karena isi netranya atau karena kepalanya yang terasa pening dan berputar-putar.
"Ikhlaskan."
Tanpa kata maaf apalagi mengucapkan beribu terima kasih, Gavin tidak akan pernah bisa merelakan jika wanita yang selalu ada di hatinya tiada.
"Mama." Hanya kata itu saja yang sejak tadi digumamkan Gavin sejak mendapat kabar mengerikan yang tak pernah ia duga. "Ma," katanya sekali lagi.
Waktu tidak akan pernah bisa diulang bukan? Atau jika bisa, tolong katakan pada Gavin bagaimana caranya? Ia ingin mengulang waktu agar bisa bertemu mamanya dan bersikap jauh lebih baik.
"Kamu harus ikhlas, Vin." Salah seorang saudaranya datang untuk memberi kekuatan pada Gavin. "Ini HP kamu jatuh di sana, dan sejak tadi ada yang menelepon kamu."
Gavin melirik sekilas benda pipih yang disodorkan oleh tantenya itu.
Bianca.
"Mama meninggal, Bi." Tangis Gavin kembali tumpah.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Us
Teen Fiction"Lo jahat." "Lo egois. Sadar!" Cinta bukan hanya tentang persamaan. Namun, perbedaan juga bisa menjadi alasan kenapa dua orang bisa bersama dalam ikatan cinta. Sayangnya, perbedaan Bianca dan Gavin terlalu banyak. Apalagi hubungan itu tak pernah me...