Dua minggu yang luar biasa. Dua minggu yang terlalu banyak kejutan dan hal aneh yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya akan terjadi. Dalam waktu dua minggu, Gavin merasakan banyak hal, mendengarkan deretan kata dan kisah yang keluar dari bibir mungil Bianca, mengetahui rahasia besar yang selama ini berusaha ia cari, dan dua minggu yang harus ia katakan cukup membuat emosinya naik turun.
Setelah kejadian itu, Gavin menjadi lebih dingin dan seolah orang asing di rumah sendiri. Pertengkaran antara orang tuanya masih sering ia dengar. Kali ini, ia tidak terus bertanya apa alasannya. Sebab, semuanya sudah ia ketahui. Meski begitu, ia tetap mengikuti apa yang dikatakan kedua orang tuanya.
"Jangan jauhi Bianca. Sejak kamu dan Bianca dekat, perusahaan Papa semakin berjalan lancar."
"Kamu harus terus sama Bianca ya, Vin."
Gavin mengangguk dan patuh. Bukan sepenuhnya karena ingin perusahaan papanya lancar. Gavin memang sudah merasa nyaman bersama Bianca. Ia sudah memutuskan untuk berteman dengan cewek bawel itu.
Hari liburnya telah usai. Sekarang, ia sudah berada di sekolah dan memantau banyak murid baru sedang berbaris di lapangan. Sisa masa sekolahnya tinggal satu tahun. Waktu ternyata berjalan begitu cepat. Sebentar lagi, ia akan segera berpisah dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
"Esta makin cantik aja." Gavin menopang dagu mengamati Esta yang sedang menjadi salah satu petugas panitia pelaksana masa pengenalan lingkungan sekolah. "Gue kangen Esta. Sialan, selama dua minggu ini gue kayak lupa sama Esta," bisik Gavin mengumpat pada dirinya sendiri.
Bianca terlalu menarik perhatiannya. Semula ia tidak begitu peduli, tetapi lama kelamaan ia semakin nyaman dan peduli dengan kehadiran cewek itu.
Termasuk sekarang. Kehadiran Bianca di sekolahnya menarik perhatian Gavin sampai ke titik terdalam. Sedang apa Bianca ada di sini? Apa sekarang dirinya sedang berhalusinasi?
Senyuman manisnya nyata. Lambaian tangannya terarah untuknya, juga suara cempreng itu terlalu jelas jika hanya sebagai bayangannya saja.
"Lo hantu kan?"
Tuk!
Gavin merasakan keningnya sakit. Berarti ini bukan mimpi. Sentilan yang baru saja mendarat di keningnya terasa cukup keras.
"Lo ngapain? Kenapa ada di sini? Lo gak sekolah? Lo gak mungkin ngikutin gue kan? Lo kangen sama gue? Kita baru pisah sehari, Bi. Masa lo udah kangen sih. Lo udah...."
Bianca meraup bibir Gavin. Masih pagi dan Gavin sudah bertingkah seperti wartawan, alias banyak tanya sekali. "Satu-satu. Gue bingung jawabnya," katanya, menjauhkan tangan dari bibir Gavin.
Tentu saja Gavin misuh-misuh. Ia berdiri tepat di hadapan Bianca. "Pertama, kenapa lo ada di sini?"
"Lo pikir gue ke sini mau ngapain? Ya sekolah lah, gue mau belajar, Gavin."
"Sekolahan lo bukan di sini," potong Gavin.
"Kata siapa?" tanyanya, sengaja berniat membuat Gavin kesal. "Sekarang gue sekolah di sini kok. Mulai hari ini, Bianca Alshamira akan sekolah di sini."
Belum cukupkah Bianca membuatnya terkejut selama dua minggu belakangan ini? Ini masih terlalu pagi untuk mendengar kabar jika Bianca pindah sekolah.
"Ini berita yang gue maksud waktu itu." Bianca tersenyum manis. "Gue pindah sekolah. Ya, tentu saja karena Papa nyuruh gue."
Gavin menutup mulutnya sebagai tanda jika berita yang dimaksud Bianca itu memang membuatnya terkejut.
"Asli ini gak bohongan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
About Us
Teen Fiction"Lo jahat." "Lo egois. Sadar!" Cinta bukan hanya tentang persamaan. Namun, perbedaan juga bisa menjadi alasan kenapa dua orang bisa bersama dalam ikatan cinta. Sayangnya, perbedaan Bianca dan Gavin terlalu banyak. Apalagi hubungan itu tak pernah me...