Chapter sixteen

264 25 0
                                    

Di dunia manusia, kini Nadine dan Amora sedang gelisah. Pixy, Allen, Eileen, dan Elkaero sudah beberapa hari tak masuk. Tapi bukan itu yang mereka takutkan. Mereka hanya takut jika terjadi apa-apa dengan sahabat nya, kalau soal tiga orang itu, mereka tak masalah—karena mereka tak memiliki hubungan dengan mereka bertiga.

Kegelisahan itu semakin tumbuh apalagi ketika mereka berdua pergi ke rumah Pixy, namun tak ada sahutan sama sekali.

”Bagaimana ini? Kalau ibu dan ayah nya Pixy menelpon atau bertanya pada kita, kita harus jawab apa?” tanya Nadine pelan, ”Kita juga udah lama buat surat izin buat Pixy, nanti guru marah.”

”Aku tak tau, aku juga bingung.” balas Amora dengan nada lesu. Mereka berdua menghela nafas lelah. Detik setelahnya, pandangan mereka beralih ke arah guru dan dua orang murid baru.

”Baik anak-anak. Kini ada dua murid baru, lagi.” ucap sang guru, ”Tolong berteman dan terima mereka. Silakan perkenalkan nama kalian.” sambung guru itu dengan senyuman.

Kedua pemuda itu—Ariel dan Daniel—mengangguk singkat, kemudian memperkenalkan diri mereka sendiri. ”Nah, kalian silakan duduk di kursi kosong. Untuk anak-anak yang lain, silakan panggil guru yang mengajar.” ucap guru itu lalu pergi dari sana.

Daniel menggedikkan bahu tak acuh kemudian berjalan ke arah kursi kosong yang dulunya merupakan tempat duduk Allen dan Elkaero. Berbeda dengan Ariel yang nampak memberikan senyum tipis kepada beberapa murid,

”Sok.” gumam Nadine.

”Aku mendengar nya.” suara berat itu mengintimidasi, membuat Nadine meneguk saliva nya sudah payah. Daniel menatap gadis yang duduk di depannya nya itu dengan pandangan datar.

”Ngomong-ngomong, saat istirahat, ada yang perlu kami bicarakan dengan kalian.” ucap Ariel menengahi mereka. Nadine dan Amora bertatap-tatapan. Raut wajah yang bingung itu tak dapat di sembunyikan,

”Ikut saja.” ucap Daniel ketika melihat salah satu dari gadis itu akan berbicara. Mau tak mau, Amora dan Nadine pun mengangguk singkat.

.
.

Bel istirahat berbunyi. Seluruh siswa mulai berhamburan pergi ke kantin, kecuali empat orang ini—Amora, Nadine, Daniel, dan Ariel.

”Jadi? Kalian ingin bicara apa?” tanya Amora.

”Ini soal Pixy. Kalian mencari gadis itu, kan? Kalian tenang saja, dirinya bersama dengan Allen. Dan dia baik-baik saja.” balas Ariel dengan senyuman dan deheman singkat Daniel.

”Ayo pergi.” ajak Daniel langsung pergi dari sana dan di susul oleh Ariel meninggalkan dua gadis itu masih termenung di tempat. ”Hei? Tunggu, dimana mereka sekarang?” teriak Amora tak di hiraukan oleh kedua makhluk itu.

Nadine menghela nafasnya, "bagaimana mereka tau tentang Pixy dan Allen? Apakah benar jika Pixy baik-baik saja?" Gumam nya pelan.

Kilas balik,

Sebelumnya Allen telah meminta Ariel dan Daniel untuk menggantikan mereka di dunia manusia. Takut-takut jika ayah dan ibu nya Pixy pulang. Sebenarnya mereka menolak, namun dengan bersikeras Allen meminta.

”Pergilah kedunia manusia.”

Daniel mendelik tajam, ”Gila? Mengapa harus kami? Mengapa tidak sepupu kesayangan mu itu saja huh?”

Allen menoleh sekejab, lalu terkekeh, "Apa yang kau harapkan dari seorang Elkaero Arkhava?" Balas nya. Daniel memutar bola matanya malas, "lalu, mengapa tidak kau dan Pixy saja yang kembali ke dunia manusia?" Tanya nya.

Allen menatap langit malam, "kau tau sendiri, kondisi Pixy masih belum stabil. Dan aku juga harus menghentikan pertunangan ku sendiri." Balas nya.

Ariel menghela nafasnya, kemudian menepuk pundak Daniel. Pemuda itu mengangguk singkat guna menyakinkan Daniel bahwa ini keputusan yang tepat, "Baiklah. Kami akan pergi." Ucap Ariel gembira.

Daniel mendelik, "kau terlihat sangat bersemangat sekali?" tanya nya dengan nada tak suka. Ariel tersenyum simpul, "tentu saja, kau tau—sahabatnya Pixy itu sangat cantik.” balasnya.

”Gila!”

"Ayo." Ariel menarik lengan Daniel dengan lancang—meninggalkan Allen yang hanya memperhatikan sudut bibirnya yang terangkat melihat kedua temannya, daniel yang mengomel, dan Ariel yang mengambangkan senyum.

.
.

Allen masuk ke kamar mendapati Pixy yang tidur di kasur dan Eileen yang tidur di sofa. Pemuda itu menghela nafasnya kasar kemudian mendekati pujaan hatinya,

Allen mengelus permukaan kepala Pixy. Gadis itu tadinya sudah bangun, namun masih di suruh beristirahat karena kondisinya masih sangat lemah. Tangan pemuda itu kini tergerak untuk mengelus pipi putih gadis itu, ”Maaf. Jika bukan karena keteledoran ku, maka kau tak akan seperti ini." Gumam nya.

Allen pergi dari sana mencari Elkaero yang entah ada dimana. Hingga akhirnya dia pergi ke kamar pemuda itu menemukan Elkaero yang kini berdiri di dekat jendela kamar nya dengan pandangan mengarah ke langit.

”El.” panggil Allen,

Elkaero menoleh. Memutar badannya hingga dirinya berhadap langsung dengan Allen. Pandangan pemuda itu terlihat datar dan dingin, membuat tatapan Allen bertanya.

Elkaero menghela nafas panjang, ”Gadis itu tak suka dengan Pixy. Tunangan mu itu harus di beri pelajaran.” ucap nya kesal. Dia tadinya tengah marah karena Lynne yang sengaja mendorong Pixy, ditambah lagi Allen yang tak sengaja memarahi Eileen karena tak becus menjaga gadis itu.

Allen memutar bola matanya malas, ”Dia bukan tunangan ku.”

Elkaero menghela nafasnya lagi, "Terserah. Lebih baik dirimu menjaga Pixy dengan baik—jadi kau tak memarahi Eileen lagi.” ucap nya dengan suara memelan di kalimat akhir.

Allen hanya menatap nya datar. Dia mendengar perkataan sepupunya itu sampai akhir. Dia tau jika dia sudah berlebihan tadinya. Allen berdecak pelan, lebih baik dirinya berpura-pura tak mendengar saja, ”Tanpa kau suruh akupun akan menjaga Pixy dengan baik.” ucapnya.

.
.

Pixy terbangun. Mata sayunya kini terbelak ketika melihat Allen yang ada di sampingnya. Gadis itu berdecak pelan, ”Menyebalkan—sana pergi.” usirnya.

Allen merengut, ”Aku sudah menunggu mu sangat lama, loh. Masa ini balasan yang aku dapat?” Pixy memutar bola matanya malas, ”Aku ingin jatahku hari ini.” ucap Allen.

Pixy menatap nya tanda tanya, ”Aku bosan meminum darah hewan. Tidak enak. Darahmu manis, membuatku candu.” ucap Allen menyadari perubahan raut wajah sang pujaan hati.

Pixy hanya diam. Tak lama dari situ ibu ratu datang, membuat Allen dengan gelagapan berdiri dari kasur seolah membenarkan pakaiannya. Ratu menatap aneh sang putra.

"Ajak Pixy makan malam." Ucap Ratu dan berlalu dari sana.

"Ibu, tunggu." cegah Allen, "bolehkah aku meminum darah Pixy?" Tanya nya pelan, takut-takut jika dia akan di sembur oleh sang ibu. Ratu terkekeh pelan, "kau tak lihat bagaimana kondisi Pixy saat ini? Kau ingin dia pingsan?" Tanya nya.

Allen mengerucutkan bibirnya. "Boleh." Suara itu membuat mata Allen berbinar, "tapi sedikit saja." Sambung sang ratu. Allen mengangguk cepat. Kemudian sang ratu pergi dari sana.

Dan di dapur mereka makan dengan damai tidak ada kekacauan. Tapi Lynne melihat Pixy dan Allen semakin lengket jadi dia ingin cepat-cepat menyingkirkan gadis itu, selesai makan Pixy di tarik Allen untuk ke kamarnya agar saat Allen meminum darahnya Pixy gak ada yang ganggu.

"Tahan, ini mungkin akan sakit." kata Allen

"Tenanglah, ini bukan pertama kalinya dirimu meminum darahku." jawab Pixy dan Allen langsung menancapkan taringnya di leher gadis itu dan ternyata gigitan Allen tidak seganas waktu itu, tidak lama Allen langsung melepaskan hisapannya.

"Lain kali lagi seperti ini aja, gigit nya jangan seperti orang tidak minum darah sebulan." ucap Pixy dengan kekehan.

Dan Allen hanya meanggukan kepalanya, dia tidak ganas mengigit Pixy karena dia tau gadis itu masih lemah akibat kejadian itu dan Allen juga sudah kenyang jadi dia minumnya gak sebanyak waktu kemaren.

To be continued..

.
.

Jangan lupa vote ya

My Mate Blood is Truly Sweet [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang