Mati

564 36 2
                                    

  Sudah 3 hari lewat semenjak malam mengerikan itu terjadi, setelah Renjun pergi dari kamar gue langsung kunci pintu dan gak pernah keluar atau mengijinkan Renjun masuk.

Masabodoh dengan gue yang kelaparan dan udah beberapa kali pingsan sendirian, gue rasa sekarang lebih baik gue mati aja. Toh hidup pun gue gak ada gunanya dan gak ada alasan buat gue bertahan hidup lebih lama lagi rasanya. Agak sedikit disayangkan gue harus mati sia-sia kaya gini, tapi itu lebih baik daripada terjebak disini mungkin buat seumur hidup gue? Siapa yang tau.

"Naya, buka pintunya!" Teriak Renjun sembari menggedor pintu.
2 hari yang lalu dia masih bisa bicara baik-baik, berusaha ngebujuk gue tapi sepertinya sekarang kesabaran Renjun sudah habis.

Dia udah berusaha hancurin handle pintu, tapi gak ada gunanya gue tahan pintu itu pake nakas. Lebih baik gue mati membusuk sendirian.

"Kalo lo gak buka pintunya, gue pastiin besok lo denger berita kematian ibu lo."

Cih gue gak peduli, toh gue juga bakalan mati gak lama lagi. Lagipula gue udah gak punya tenaga lagi buat geserin nakas itu, bahkan buat bangun aja sekarang susah. Gue hanya perlu bersabar sebentar lagi buat mati.

"Lo ga boleh mati sekarang Naya, gue gak akan biarin lo mati semudah itu."
Ujar Renjun marah.
Gue mulai tutup mata gue,gak peduli dengan segala ocehan renjun sedikitpun.

.
.
.

Perlahan mata gue terbuka, gue masih di tempat yang sama dan yang pertama kali gue liat adalah Jeno. Sudah lebih dari cukup buat meyakinkan kalau gue masih hidup dan gak jadi mati.

"Gak makan 3 hari gak akan bikin lo mati, yang ada lo cuma sakitin diri sendiri. Mati pake cara itu lama Nay, lihat kan gue berhasil menyelamatkan lo sebelum lo mati." Celoteh Jeno

"Tapi gue akui lo nekat juga, sampai gak minum juga selama itu. Mungkin 2 hari lagi lo bisa mati tapi renjun gak akan biarin itu terjadi."

Gue menggerakan tangan kiri gue buat cabut infus di tangan kanan gue, tapi apa ini? Tangan gue di ikat dua-duanya ke kaki ranjang.

"Bajingan."

"Maaf buat itu, tapi gue harus memastikan lo benar-benar sembuh dulu tanpa melakukan hal nekat. Gue harus makasih juga ke renjun, gue jadi punya pasien buat praktek nih." Jeno tersenyum dengan manis

"Kalo gitu gue permisi, mungkin besok gue balik lagi buat liat perkembangan kondisi lo."

Sosok Jeno menghilang dibalik pintu, dapat gue lihat pintunya tinggal setengah. Dan gue yakin Renjun pakai gergaji mesin atau semacamnya buat menjebol masuk kedalam.

Gue langsung membuang muka ketika Renjun datang, gue gak tau udah sebesar apa rasa benci gue ke dia.

"Liat kan Naya,kalau gue bilang lo gaboleh mati sekarang gue akan lakukan segala cara buat selamatkan hidup lo."

"Lo bukan tuhan."

"Ya tapi gue akan terus selamatkan nyawa lo meskipun lo coba bunuh diri seribu kalipun." Jawabnya

Renjun duduk di sisi ranjang,dia mengelus pipi gue pelan dan mendekatkan wajahnya ke wajah gue.

"Jujur aja buat jinakin lo itu susah banget, tapi gue suka. Lo berbeda sama cewek-cewek sebelumnya yang di tampar sekali aja langsung nurut. Gue suka sifat lo ini."

"Kita liat sejauh mana lo bisa membangkang. Dan lo bisa mulai hidup baru dengan tenang. Liat ini." Renjun melanjutkan.

dia memperlihatkan sebuah video berita tentang penemuan jasad seorang perempuan yang di yakini itu adalah gue, polisi yakin itu gue karena melihat dari baju yang ia kenakan sama persis kaya baju yang gue pake terakhir kali.
Lebih menyakitkannya lagi adalah keluarga gue juga percaya, mereka udah terima dan percaya juga gak meminta autopsi dengan alasan mereka ingin gue beristirahat dengan tenang.
Gue cuma bisa nangis,gue gak terima keluarga gue pasrah gitu aja.

Eccedentesiast  [Huang Renjun]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang