Riddle

707 38 0
                                    

   Sesampainya di rumah gue langsung kunci pintu dan tutup semua jendela. Perasaan gue masih gak enak, satu hal yang udah jelas kalau setelah ini hidup gue gak akan pernah tenang. Padahal bukan gue yang bunuh cewek itu, tapi gue merasa bersalah. Tapi hey siapa juga yang bakalan nolongin cewek itu pas dia udah sekarat? Oke gue emang jahat biarin dia mati, tapi siapapun yang ada di posisi gue pasti akan melakukan hal yang sama seperti gue, kabur jadi pecundang gitu aja. Gue masih ingin hidup itu aja.

Jam sudah tepat tengah malam, gue di rumah sendirian. Bunda lagi di luar kota mengurus nenek yang sedang sakit sementara ayah gue sudah meninggal 7 tahun lalu. Kakak gue kerja di luar negri, banting tulang buat biaya sekolah gue. Sementara gue? Ya masih gini-gini aja jadi beban keluarga, itu kenapa gue gak mau mati dulu. Setidaknya gue harus mati setelah tidak jadi beban keluarga lagi.

Gue masih mondar-mandir di kamar, kejadian gila tadi terus berputar di otak gue. Gue gak berani minum obat penenang atau apapun itu,meskipun gue tau apa yang harus gue lakukan di saat seperti ini karena gue mahasiswi psikologi tapi otak gue gak bisa berpikir jernih. Cuma rasa takut yang mendominasi sekarang.

....

  Pagi ini setelah gue hampir gak bisa tidur semalaman dan baru bisa tidur jam 3 pagi saat gue meyalakan televisi berita pertama yang muncul itu tentang pembunuhan. Mayat si cewek yang semalam gue liat dia di bunuh di temukan bukan di universitas gue, tapi di salah satu tempat sampah di komplek rumah gue?!
Gue langsung merinding, tubuh gue langsung menggigil takut. Jaraknya gak jauh dari rumah gue, gila apa mereka mengikuti gue? Apa mereka tau rumah gue sekarang?
Telepon dari bunda mengalihkan perhatian gue dan segala ke overthinkingan gue. Bunda panik banget, menanyakan kabar gue gak lupa menasehati gue untuk jangan pulang terlalu malam dan jangan sendirian kalo bepergian. Sudah pasti bunda juga liat beritanya.

Setelah menenangkan diri hampir satu jam akhirnya gue berangkat kuliah lagi seperti biasanya. Seolah gak terjadi apa-apa gue memikih pura-pura gak tau apapun. Para polisi masih banyak berada di tkp, yang gue denger dari ibu-ibu tetangga tadi katanya gak ada bukti atau sidik jari atau apapun itu yang bisa ngasih petunjuk tentang pembunuhnya. Gila,mereka mainnya bersih banget.

"Naya." Sapa seseorang sambil nepuk pundak gue, sukses membuat gue terlonjak kaget bukan main.

"Anjing Sngchan, kaget gue!"
Ternyata dia cuma sungchan sepupu gue. Anaknya adik ibu gue, kita cuma beda satu tahun lebih tuaan gue.

"Kenapa sih lo? Kaya kaget banget gitu."

"Gue lagi mikirin si cewek yang di bunuh itu chan, kasian banget ya gak sih." Jawab gue

"Iya kasian sih, tapi gak usah terlalu di pikirin bukan urusan kita."

"Ya tapi masalahnya deket rumah gue bego! Takut gue."

"Ah ya ampun Nay, paling si pembunuh membuangnya asal aja. Kan disana cctv nya lagi rusak jadi sengaja aja buang di tempat yang gak ada cctv nya." Jawab sungchan, gue cuma ngangguk-ngangguk masuk akal juga. Tapi kenapa dari sekian banyak tempat yang cctv nya rusak atau bahkan gak ada cctv nya di kota ini harus menbuangnya di komplek tempat tinggal gue?

Gue merasa janggal, mereka seperti sengaja untuk teror gue. Kalau gue jadi mereka di bandingkan harus buang mayatnya di tempat seperti itu mungkin gue bakal sembunyikan mayatnya di tempat yang gak terjamah manusia sekalian.
Gak habis pikir gue sama para pembunuh itu.

"Oh iya Na, minggu depan lo jadi ikut baksos kan?" Tanya Sungchan

"Emang kampus gue ngadain baksos?"

"Bukan bego, ituloh baksos yang di buat atas inisiatif mahasiswa antar kampus di kota ini."

"Oh iya, boleh sih ikut. Berapa kampus emang yang ikutan?" Gue mengangguk

"Gue denger-denger sih 7,nanti bareng ya sama gue."ucap Sungchan, gue cuma ngangguk meng iyakan. Terus bocah itu pamit karena memang kampus kita beda, gue sengaja kalau berangkat turun di pertigaan yang agak jauh dari kampus. Biar bisa jalan kaki, seru aja gitu bareng sama anak-anak univ lain juga yang kampusnya berdekatan, Kadang tak jarang gue jadi dapat teman baru.

Sungchan ini ambil jurusan teknis mesin, kampusnya gak jauh dari kampus gue. Jadi kadang kita suka berangkat bareng  atau pulang bareng.

.....

Udah satu minggu lewat, gue berusaha melupakan kejadian itu tapi gak bisa. Bahkan gue mimpi buruk hampir setiap malam, belum lagi hidup gue yang selalu merasa gak tenang karena takut. Gue bukan takut di tangkap polisi enggak sama sekali, karena gak ada yang tau juga gue memergoki pembunuhan itu.
Yang paling gue takutkan adalah si pembunuhnya.

Seperti kata sungchan gue sekarang lagi ngumpul sama anak-anak univ lain buat baksos. Acara baksos ini di ketuai sama renjun namanya, si cowok mungil yang katanya ngambil jurusan seni di univ terbaik di kota ini. Wakilnya jaemin, anak ekonomi yang cukup populer di kampus sebelah.

"Oke, jadi kita bagi kelompok ya. Kita baksos ke tiga daerah yang lumayan terpencil sih jadi kalo ada yang gampang sakit bawa obat sendiri jangan lupa, kita baksos cuma dua hari satu malam kok. Jaemin sama gue udah atur jadwal kalian apa aja yang harus di lakukan." Ucap Renjun, kita sih cuma ngangguk-ngangguk paham aja.

Jaemin mulai membacakan nama-nama kelompoknya, siapa aja dan harus kemana. Gue kebagian di kelompok 5 beranggotakan hanya gue, Jaemin, Renjun dan Jeno si anak jurusan kedokteran katanya. Gue sedikit merasa tidak enak karena gue ceweknya sendirian, tapi gak mungkin mereka macam-macam kan karena daerah tempat baksos kita sama dengan kelompok tiga. Gue kenalan sama mereka, walaupun agak canggung awalnya tapi kita sama-sama berusaha biasa aja.

"Jadi Naya lo calon psikolog?" tanya Jaemin yang duduk di samping gue di mobil, gue cuma ngangguk aja. Di jalan kita banyak ngobrol soal kampus satu sama lain, sambil sesekali gue liatin mobil di depan yang berisi kelompok tiga. Sampai di persimpangan jalan, bukannya belok ke kanan mengikuti mobil kelompok tiga Jeno yang menyetir malah lurus melajukan mobil ini.

"Loh Jen bukannya harusnya kita ikut mobilnya kelompok tiga ya?" Tanya gue, Jeno yang sedang fokus menyetir cuma diam.

"Enggak kok Nay, ini udah benar jalannya." Sahut Renjun yang memang duduk di belakang di samping tumpukan kardus sembako yang kita bawa.

"Tadi kan kata Jaemin tempat baksos kita sama barengan sama kelompok tiga kan?"

"Iya, tapi kita baksosnya besok-besok aja." jawab Jaemin, perasaan gue sudah mulai gak enak. Gue takut di apa-apain sama tiga cowok ini.
Begonya gue dari tadi curiga kenapa gak nolak aja satu kelompok sama mereka? Kenapa gak minta tukeran kelompok aja sama sungchan yang pasti mau-mau aja itu bocah tukar kelompok.

"Terus kita mau kemana?"tanya gue berusaha gak panik sebisa mungkin, jaemin hanya menyunggingkan senyum miring nya.

"Habisi lo."sahut Renjun, belum sempat gue teriak renjun dari belakang sudah bekap mulut dan hidung gue pakai sapu tangan yang agak basah, gue yakin dia nambahin obat di saputangannya. Karena kepala gue udah mulai berat,gue masih berusaha berontak. Jaemin gak tinggal diam, dia ikat kaki sama tangan gue. Gue berusaha teriak minta tolong sebelum kesadaran gue bener-bener habis. Tapi percuma, karena tubuh gue sudah lemas dan kesadaran gue berangsur hilang.

To Becontinued...

Eccedentesiast  [Huang Renjun]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang