Chapter 02

3.4K 282 15
                                    

Bell pulang telah berkumandang sejak 15 menit yang lalu. Namun, Asha masih menetap di rooftop sekolah seorang diri. Meninggalkan kelas awal-awal, tetapi bukan langsung untuk pulang. Lebih tepatnya menghindari kejadian yang kemungkinan bisa saja dapat merugikan dirinya.

Dari awal Asha telah menyaksikan murid-murid Neocity yang tampak bahagia dapat pulang bersama teman-teman mereka. Saling bercengkrama, berlarian, hingga bersepeda atau berjalan bersama. Keseruan itu tak luput dari perhatian Asha yang berdiam diri tanpa ada satupun yang menyadari.

Gadis berambut sedada itu menarik napasnya dalam-dalam. Pupil matanya bergulir ke atas, memandang langit kelabu yang sebentar lagi akan menumpahkan airnya. Ia mencangklongkan tasnya lalu meninggalkan rooftop. Selama hampir setengah tahun bersekolah di sini, Asha seringkali ke rooftop yang tujuannya untuk mengamankan diri. Begitulah kesehariannya. Tak ada yang menarik.

Lorong-lorong sepi menjadi hal biasa yang dilihat Asha setiap pulang sekolah. Rasanya begitu damai, seolah tak merasakan tekanan kuat akan entitas yang membuatnya selalu ingin bersembunyi.

Cklek

Langkah Asha terhenti bersamaan keluarnya sosok yang amat dikenalnya dari dalam kelas 11 IPS 2. Jenova Alvinski Sudarma. Pemuda itu hanya seorang diri. Keduanya saling menatap sesaat sebelum Jenolah yang memutus kontak mata mereka.

Asha masih memandang Jeno yang kini berjalan pergi. Ia membiarkan pemuda itu mendahuluinya. Asha berjalan pelan di belakang, berjarak cukup jauh dengan Jeno. Begitu sampai di luar gerbang, Ia menemukan sosok Jeno tengah duduk di kursi tunggu pemberhentian bus. Biasanya Jeno ke sekolah membawa motor sendiri, tetapi tak disangka Jeno yang merupakan anak orang kaya, sudi menggunakan kendaraan umum untuk pulang.

Gadis itu menghampiri halte juga. Sempat melirik Jeno melalui ekor matanya, di mana pemuda itu tampak acuh terhadap sekitar. Mungkinkah Jeno malu lantaran ketahuan menaiki angkutan umum oleh orang yang dirundungnya?

Asha memilih duduk di kursi paling pojok, menjauhi Jeno yang juga duduk berada di paling pojok sebelahnya. Keheningan melanda. Sesekali Asha mencuri-curi pandang untuk melihat bahwa Jeno tak merasa terusik akan keberadaannya.

Tiba-tiba, bunyi guntur dari arah langit menggelegar. Mengantarkan suara dahsyat yang membuat kaget sekaligus takut. Cuaca makin mendung, menutup cahaya matahari yang menyebabkan langit menggelap bak akan malam. Kilatan-kilatan petir berlomba-lomba menampakkan eksistensinya sebelum diakhiri gelegar menakutkan.

"Tolong ... jangan hujan dulu ...." Asha bergumam kecil. Setidainya Ia harus sampai ke tempat kerjanya terlebih dahulu. Netranya berpendar ke kanan dan kiri, harap-harap bus segera datang.

Namun, ekor mata Asha amat jeli. Sedari tadi menangkap sosok di sebelahnya yang jauh, menunduk seraya merapat pada ujung tembok. Tangan yang tadinya memegang ponsel, kini telah saling bertaut. Asha bersimpati, tetapi keraguan selalu menghantui dirinya. Ia cukup tahu bahwasanya Jeno tak suka disentuh apalagi sampai ditanya oleh orang yang benar-benar sudah dicap sebagai pengganggu.

Hanya saja, melihat Jeno tampak bergetar ketakutan itu membuat Asha mau tidak mau berdiri dari duduknya. Gadis itu mendekati Jeno dan duduk tepat di samping pemuda itu.

"Jeno?"

Empunya menengok. Asha memberanikan diri memegang lengan Jeno. Tangan halus yang tak terbalut apapun itu terasa bergemetar. Namun, pemuda itu menepis kasar tangan Asha. Sorot yang diperlihatkan Jeno pada Asha pun sorot ketidaksukaan.

"Maaf," ucap Asha. Jeno membuang muka. Bertepatan saat itu juga, hujan turun secara deras. Asha yang melihat situasi semakin memburuk, langsung saja melepaskan jaket kainnya. Ia menyelimuti tubuh bagian depan Jeno dengan sedikit memaksa saat Jeno berusaha menolak.

CANTIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang