Chapter 10

2.2K 231 39
                                    

Canggung.

Itulah yang dirasakan Hanan ketika satu eksistensi kini ikut bergabung di meja makan.

Hanan tidak bodoh untuk sekadar tidak menyadari kalau sosok di seberang kursi yang didudukinya saat ini tengah melayangkan tatapan. Namun, bukanlah sebuah tatapan ramah seperti ketika baru pertama kali berjumpa dengan orang asing.

Sungguh, Hanan bisa merasakan aura mencekam saat dirinya tak sengaja bersitatap dengan sosok tersebut. Sangat berbeda dengan Asha. Gadis itu tampak tenang, seolah tak ikut merasakan kecanggungan yang amat luar biasa tak mengenakkan ini. Dia asyik makan masakan yang diduga adalah buatan sosok yang Hanan tahu bernama Jeno.

"Hanan, dimakan makanannya," seru Asha memecah suasana senyap di dalam rumah sewa milik gadis itu.

Hanan melirik sekilas sosok Jeno, kemudian dirinya tersenyum canggung. "Ini 'kan makanannya buat kak Asha, kakak aja yang habisin. Hanan belum terlalu lapar," balas Hanan pelan. Pasalnya, Ia terlalu takut ditatap tajam oleh Jeno, seakan-akan pemuda itu bisa melenyapkannya melalui tatapannya.

Asha mengernyit bingung bersamaan dengan sebelah alisnya yang terangkat. "Dimakan aja, kakak makan segini udah cukup kok. Kamu harus nyobain masakannya Jeno, enak banget."

"E-Enggak, Kak. Makasih. Kakak aja yang habisin."

"Kakak ambilin, ya?"

"Ngg—"

"Tck, kalau nggak mau yaudah, sini biar gue yang makan."

Baik Asha maupun Hanan, keduanya sama-sama diam setelah Jeno menceletuk ketus.

Asha terkekeh kecil. Ia mencubit pipi Jeno yang memang duduk di samping kanannya. Namun, empunya pipi justru menepis kasar tangan Asha.

"Nggak usah pegang-pegang!" gertaknya galak. Namun, bagi Asha tidak.

"Kamu mau makan, 'kan? Berarti kamu belum makan dong. Boong kamu, ya?" Asha menuding Jeno, membuat pemuda di sebelahnya itu terhenyak. Saat tadi dirinya diminta masuk, Jeno melihat kehadiran Hanan. Bersamaan itu, Asha menanyainya sudah makan atau belum, tetapi respons Jeno hanya mengatakan belum dengan intonasi datar.

Memang kenyataannya Jeno belum makan dari rumah, karena dia sengaja membawa porsi banyak untuk dimakan bersama Asha. Namun, dengan adanya Hanan, membuat Jeno kesal bukan main. Terlebih selepas dirinya mengatakan tidak. Asha membawa rantang bawaannya ke meja makan, lalu menawari nasi beserta lauk dan sayuran buatannya kepada Hanan, makin meletup-letuplah pula perasaan Jeno yang menyaksikan kedekatan Asha dengan Hanan.

Ia duduk sambil memerhatikan drama bujuk-membujuk antara Asha dan Hanan, meski berulang kali Hanan mengatakan tidak lapar. Sampai Ia muak dan tak sengaja menimpali mereka berdua karena kekesalannya yang merasa terabaikan. Pada akhirnya, dari kalimat asal ceplosnya itu, malah menguak kebohongan yang sedang ditutupinya.

"Sok tau, gue masih laper." Begitu ungkapan penuh kebohongan yang Jeno lontarkan untuk membela diri.

Asha tersenyum tipis. Ia mengambilkan sisa nasi yang masih berada di rantang ke dalam piring lain. Lalu menyendokkan sayur beserta lauk sebagai pelengkap. Kemudian diberikannya kepada Jeno.

Hanan yang menyaksikan hanya bisa menunduk lebih dalam. Dia tahu posisinya sekarang, bahwasanya Jeno lebih diutamakan oleh Asha katimbang dirinya. Lagipula siapa dia? Orang lain yang berusaha masuk guna menarik perhatian Asha.

Ingin sekali Hanan beranjak pergi, hanya saja niatnya ragu-ragu. Namun, jika memilih untuk menetap lebih lama di sana, dia hanya akan menyaksikan kedekatan Asha dengan Jeno yang justru perlahan-lahan membuat hatinya sakit.

"Hanan, Jeno, tunggu sebentar di sini. Terutama kamu Hanan, aku nggak akan lama."

Perkataan Asha barusan menyadarkan lamunan Hanan. Begitupun dengan Jeno yang tak mengerti apa maksud dari Asha memintanya untuk menunggu sebentar?

Kepergian Asha meninggalkan dua orang yang saling berdiam diri. Jeno fokus memakan sarapannya, sementara Hanan memainkan jemarinya gugup. Siapa yang akan menyangka jika Asha akan membiarkannya berdua bersama Jeno? Terlebih tampak jelas sekali jika Jeno benar-benar tak menyukai keberadaannya di sini.

"Pulang."

Hanan tersentak kecil begitu Jeno bersuara datar. Ia memberanikan diri, mengangkat kelopak matanya guna bersipandang dengan Jeno. Hanan tak mengerti, apa maksudnya? Dia menatap Jeno dengan sorot kebingungan, yang mana membuat Jeno justru mendecak kesal.

"Sebelum Asha balik, mending lo pergi sekarang dari sini. Nggak usah balik apalagi muncul di hadapan Asha."

"T-Tapi kak Asha m-minta Han—"

"Lo nggak usah sok polos ya, Bangsat. Biar apa lo bersikap begitu? Pick me banget jadi cowok. Gue tegasin lagi, sampai gue lihat lo terus-terusan muncul apalagi bareng sama Asha, gue bakal bikin lo babak belur saat itu juga. Ngeri lo?"

Hanan mengepalkan kedua tangannya yang berada di atas pangkuannya. "Kenapa kak Jeno larang-larang Hanan buat nggak deketan sama kak Asha? Emang apa hubungan kalian? Nggak ada, 'kan? Jadi kenapa kak Jeno ngelarang Hanan? Itu hak Hanan mau deketin kak Asha. Kakak nggak boleh ikut campur kalau nyatanya kak Jeno sama kak Asha nggak ada hubungan apa-apa."

Jeno menggebrak meja dengan sangat keras.

"Anjing lo," umpatnya naik pitam. "Gue emang nggak ada hubungan apa-apa sama Asha, tapi dia inceran gue, dia udah jadi target gue! Lo nggak usah ngerusak rencana, Anjing!"

Hanan terdiam. Begitu juga dengan sosok yang berada di ambang pintu sembari menenteng bungkus plastik bening berisi bungkusan lain yang diduga adalah sebuah bubur.

"Target apa yang kamu maksud?"

Jeno menoleh dengan cepat. Netranya membola kaget.

Asha berjalan pelan ke arah meja makan. Ia menaruh bungkusan plastik yang dibawanya di atas meja. Jujur, atmosfer terasa dingin. Hanan maupun Jeno tidak ada yang membuka suara.

"Jeno," panggil Asha dengan suara lirih. Hal itu membuat yang dipanggil pun mengangkat wajahnya. "Kamu bisa berangkat duluan?"

Jeno mengubah ekspresinya seolah tak terima. "Nggak!" balasnya cepat.

"Jeno, tolong."

"Nggak ya nggak! Gue nggak mau!"

Asha menarik napasnya dalam-dalam. "Jeno, kamu tau? Aku nggak bisa marah, tapi bukan berarti aku nggak bakalan marah. Pergi sekarang sebelum sesuatu yang aku tahan meledak dan menyakiti kamu."

Jeno masih bergeming. Dia ingin memastikan jika Asha benar-benar memintanya pergi. Namun, tampaknya Asha memang bersungguh-sungguh. Dia melirik Hanan sekilas sebelum akhirnya dengan perasaan dongkol, meraih tas sekolahnya lalu pergi dari kediaman Asha.

Gadis itu mengembuskan napasnya perlahan. Dia menengok ke arah Hanan yang tak disangka tengah menangis.

"Han—"

Pemuda manis itu langsung memeluk Asha dengan sangat erat. Asha terhenyak, tetapi membalas pelukan Hanan. Ia mengusap-usap punggung ramping Hanan supaya anak itu tenang.

"Maaf, karena Hanan, kak Asha sama kak Jeno jadi bertengkar," ucapnya melirih disela tangisnya.

Asha tak membalas, melainkan diam membisu. Dari awal, Asha tahu kalau Jeno mendekatinya bukan sekadar karena inisiatif Jeno sendiri. Melainkan karena sebuah tantangan. Namun, Asha memilih untuk diam, berlagak seolah tak menyadari. Karena sejak awal, Jeno tak mungkin bisa langsung menyukainya dalam tempo yang begitu singkat.

Jujur, Asha merasa sakit di hatinya. Tapi dia tidak bisa menyalahkan Jeno. Ia baru menyadari kalau dirinya telah jatuh cinta pada sosok yang kerap merundungnya itu.

CANTIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang