Chapter 13

1.9K 241 39
                                    

Senyum dulu baru baca, jan manyun terus🗿

....


"Lho, Asha? Kamu nggak pergi sekolah, Ndhuk?"

Asha menaruh tas selempangnya di atas meja setiba dirinya di tempat kerja. "Enggak, Pak. Hari ini mau kerja aja. Saya udah ngirim surat izin ke sekolah kok kalau hari ini nggak berangkat, aman," ucap Asha sembari mengacungkan kedua ibu jarinya kepada pak Somat. Supaya pria paruh baya itu tak terlalu memikirkan urusannya.

Mau bagaimanapun, pak Somat itu bukanlah sanak saudara Asha. Namun, Asha menganggap pak Somat itu seperti ayah kedua bagi Asha. Pak Somat senantiasa bertanya kegiatannya selama di sekolah dengan antusias, itu sebabnya Asha tidak ingin pria tua itu ikut menanggung masalahnya saat tau kalau apa yang Asha ceritakan kepada pria itu tidaklah benar-benar seperti apa yang telah dikatakannya.

Bahkan pak Somatlah yang selalu bersedia mengambilkan rapot setiap selesai ujian semesteran atau kenaikan kelas disaat orang tuanya di kampung tidak bisa datang untuk mengambilkan. Pak Somat terlalu banyak membantunya, sampai kadangkala Asha merasa apa yang dilakukannya untuk pak Somat tidak lebih besar dari apa yang telah pak Somat lakukan untuk hidupnya.

"Kalau ada masalah kamu boleh cerita, Ndhuk."

"Nggak ada, Pak. Tenang aja. Aman pokoknya," balas Asha meyakinkan. Sejujurnya Asha hanya tidak ingin terlalu banyak melibatkan orang lain ke dalam permasalahannya, terutama pak Somat yang notabenenya sudah tua. Biarlah Ia sendiri yang mengatasi itu.

"Pak, mie ayam baksonya tiga, ya, sama minumannya es jeruk semua." Suara pelanggan laki-laki menginterupsi percakapan antara Asha dengan pak Somat. Mereka pun lekas bersiap.

Asha menggantungkan tasnya di bagian samping gerobak mie ayam pak Somat. Mulai membantu pria paruh baya itu menyiapkan pesanan pelanggan pertama mereka yang datang hari ini.

....

"Hubungan lo sama Si Miskin gimana, Bro?"

Jeno mendecak kesal oleh celetukan Vano. "Dia udah tau kalo gue deketin dia karena tantangan," balasnya ketus. Fokusnya hanya kepada permainan game di ponselnya saat ini.

"Sayang banget, tapi gue mengapresiasi lo karena mau main-main sama si miskin. Jadi, duit tantangannya tetep lo ambil. Ntar gue transfer, tenang aja. Gak nyangka sih Si Miskin gampang banget masuk ke lubang buaya, harusnya lo ajak ngew—"

BUGH!

"Jaga ucapan lo!" bentak Jeno tersulut. Kedua matanya menilik tajam ke arah Vano yang telah tersungkur sembari memegangi pipinya yang barusan terkena bogeman mentah secara cuma-cuma.

"Ssssh ... Bangsat! Kenapa lo jadi sensitif gini, huh?" desis pemuda itu beranjak bangkit. "Aaaah ... gue paham. Atau jangan-jangan lo suka sama tuh Si Miskin, iya?"

Jeno bersiap memukul Vano untuk kedua kalinya, akan tetapi Bisma—salah satu teman mereka menahan pergelangan Jeno dengan cepat. "Woles, Jen. Lo kenapa jadi marahan gini? Inget bro, kita temen!" ucapnya memperingati. Dia menarik Jeno menjauh dari Vano.

Jeno menarik tangannya dari cekalan Bisma, kemudian kembali menatap Vano. Dia mendecak kesal, tanpa sepatah katapun, berlalu pergi dari sana.

Perasaannya berkecamuk mengetahui Asha tidak berangkat hari ini. Jeno juga tidak tahu, tapi dari dalam lubuk hatinya, Ia merasa kehilangan.

....

Drrrt

Asha melirik penasaran pesan masuk yang bergetar pada ponsel pintarnya. Tertera nama 'Hanan' membuatnya langsung mengalihkan pandangan. Dia duduk termenung di sebuah taman yang tidak terlalu ramai pengunjung. Ia sendiri sesekali menyaksikan anak-anak berseliweran sembari bersepeda mengelilingi lapangan taman.

CANTIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang