Chapter 11

2.1K 213 35
                                    

"Nanti pulangnya kita bareng lagi ya, Kak?"

"Nggak janji karena pulang sekolah aku langsung ke tempat kerja. Tapi lihat aja nanti. Dah, sana masuk."

Pemuda manis itu sempat memanyunkan bibir lantaran mendapati jawaban tak meyakinkan dari sang kakak kelas. Namun, dirinya tetap mengangguk patuh. Sebelum masuk, Hanan menyempatkan guna melambaikan tangan terlebih dahulu pada Asha dengan penuh semangat.

"Dadah, Kak Asha! Nanti mam bareng, oke!"

Asha terkekeh geli, tapi tetap mengiyakan ajakan si manis. "Iya-iya. Dah, gih, masuk. Semangat belajarnya."

Hanan berbalik badan, lalu membuka pintu kelasnya. Untuk kedua kalinya pemuda itu melambai sebelum akhirnya menghilang dibalik pintu kayu jati yang telah tertutup. Asha hanya bisa melihat sosok Hanan berjalan menuju tempat duduknya melalui jendela.

Dirasa tidak ada lagi urusannya di sana, Asha juga memutuskan untuk pergi ke kelasnya. Hari memang masih terlalu pagi, tapi orang kedua setelah Pak Tukang Bersih-Bersih yang tiba di sekolah adalah dirinya dan juga Hanan—atau mungkin Jeno? Asha menduga kemungkinan Jeno saat ini sudah berada di dalam kelas.

Menghela napas sejenak, Asha menyesal telah mengusir Jeno tadi. Pikirannya terlalu berkecamuk. Kekecewaannya pun terlalu besar singgah di hatinya, tetapi tak seharusnya Asha marah, 'kan? Jeno tak sebetulnya bersalah karena dia hanya menyanggupi tantangan dari teman-temannya supaya tidak dicap pecundang lantaran menolak untuk menerima tawaran untuk mendekati dirinya.

Cklek

Asha terdiam di ambang pintu, pasalnya ruang kelas kosong melompong. Tak ada kehadiran Jeno di kelas, tasnya pun tidak ada di kursi pemuda itu. Ke mana Jeno? Kepalanya terus bertanya-tanya. Ia mengira Jeno telah sampai terlebih dahulu, sebab Asha tidak menebak lagi melalui kendaraan yang biasa pemuda itu bawa ke sekolah. Semenjak bersama dirinya, Jeno jadi lebih sering menggunakan transportasi umum katimbang membawa motor sendiri ke sekolah.

Asha tak mau berpikir terlalu jauh. Bisa jadi Jeno mampir di suatu tempat menunggu teman-temannya berdatangan satu per satu ke kelas. Jadilah Asha duduk di kursinya. Berharap hari ini Ia tak mendapat gangguan dari teman-teman Jeno yang kerap merundungnya tanpa sebab yang jelas.

Hampir beberapa menit Asha menunggu kedatangan semua teman sekelasnya. Sampai rungunya mendengar tawa dan suara percakapan yang cukup keras berasal dari luar kelas, terdengar begitu asyik dan mampu menggetarkan gendang telinganya.

Pintu dibuka secara tidak santai oleh satu dari kelima pemuda berpenampilan urakan. Itu teman-teman Jeno. Asha terus mewanti-wanti terhindar dari perbuatan buruk hari ini. Apalagi saat keenam pemuda itu berjalan melintas di sebelahnya. Mereka masih asyik mengobrol dan tampaknya tak menyadari kehadirannya.

"Gue nggak habis pikir anjir, bisa-bisanya lo, hahahaha!"

Satu diantara keempat orang yang paling berisik dan membangun suasana adalah Vano. Sosok itu meski berandal, suka memerintah, sering berteriak, kerapkali keluar-masuk konseling, dia adalah pribadi penghibur yang bisa membuat siapapun tertawa oleh sikap randomnya, entah itu di kelas maupun saat sedang bersama kelima temannya.

Tak jarang Vano sering melawak, mampu membuat seluruh penghuni kelas termasuk dirinya dibuat terpingkal-pingkal. Guru-guru pun menyukainya, tetapi kasus Vano yang suka melanggar peraturan sekolah, membuat guru juga kesal terhadap pemuda ber-dimple tersebut.

"Eh, ada si miskin."

Damn!

Seruan Vano mengundang atensi keempat temannya yang lain untuk memandang ke tempat duduk Asha. Gadis itu sudah merasa panas dingin, apalagi ketika Vano berdiri di sebelahnya.

CANTIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang