"Pak, saya izin pamit pulang, ya?"
Pria paruh baya yang merupakan pemilik gerai mi ayam tersebut menoleh kepada Asha yang telah selesai berkemas. "Ini gaji kamu, Asha. Pelanggan hari ini banyak banget, bapak gak akan nyangka dagangan laris manis. Sebagai bentuk imbalan bapak, ini gaji dan sebungkus mi ayam buat kamu."
"Eh?" Asha terpelongo. Ia menatap pak Somat yang menyodorkannya sebungkus mi ayam dengan sejumlah uang yang lumayan banyak. "Pak, itu kelebihan. Kayak biasanya aja. Bapak simpen separuh upah saya buat beli bahan untuk jualan besok," tolaknya halus.
"Nduk, uang ini gak seberapa. Kamu harus bayar kosan, 'kan? Diambil, gak boleh nolak rezeki." Pak Somat kemudian meraih tangan kanan Asha lalu menyerahkan bungkus plastik berisi mi ayam dan uang itu.
Asha meringis tak enak. Namun, tetap dia dia terima. "Makasih banyak, Pak!" ucapnya kelewat bahagia. Dengan begini, Asha dapat membayar biaya sewa kosan dan bisa membeli kebutuhan lainnya.
Dia melegang pergi seusai berpamitan dengan pemilik gerai.
Asha benar-benar merasa sangat bahagia. Dia tersenyum cerah disepanjang jalan, sesekali bertukar senyum dengan orang random yang melintas. Ia pulang berjalan kaki, tujuannya supaya uang gajinya tidak berkurang. Asha tidak akan menggunakannya selain untuk membayar uang kos serta berbelanja kebutuhan dan sekolahnya.
Namun, tampaknya kebahagiaan Asha bukan di waktu yang tepat. Di depannya kini, segerombol pemuda menghadang jalannya. Pemuda-pemuda berandalan yang suka berbuat onar itu kerapkali suka menganggu Asha, entah dengan merundungnya, merampas uangnya, bahkan tak segan-segan menghajarnya tanpa memedulikan jikalau Asha adalah seorang perempuan.
"Bau-bau habis dapet upah nih," celetuk salah satu pemuda berandal tersebut. Orang-orang kurang lebih kisaran 10 orang itu serempak mengelilingi Asha. Ia menggenggam erat tali tas sekolahnya sewaktu-waktu dirampas secara tiba-tiba.
"Mumpung gue lagi baik hati, gue perintahin lo buat serahin duit lo. Semuanya, gak tersisa," perintah satu dari sembilan orang itu yang diyakini dia adalah ketua mereka.
Asha bergeming setengah ketakutan. Diam membisu, tak berani melawan apalagi berkutik sejengkal saja.
"Lo budek? Gue gak suka ngulang perkataan. Sebelum lo yang gue jadiin samsak tinju, mending sekarang lo serahin semua duit lo!" gertaknya mengancam.
"U-Uangnya buat bayar kosan saya, tolong jangan diambil."
Pemuda sebagai ketua kelompok berandal tersebut tertawa terpingkal-pingkal. Tak ada yang lucu, tapi dia tertawa keras dengan suara melengking yang membuat Asha hanya mampu menunduk.
"Lawak lo, anying! Kalo lo milih pake kekerasan, oke gue jabanin. Cok, ambil tasnya." Pemuda itu memberi perintah pada anak buahnya. Dua orang menjagal kedua tangan Asha ke belakang, sementara salah satu mengambil paksa tas sekolahnya.
"Tolong, jangan diambil!" teriak Asha sembari berusaha melepaskan diri. Namun, tak diindahkan oleh pemuda-pemuda itu.
Bugh
Tendangan kuat mengenai pemuda yang menahan tangan kiri Asha. Membuat orang itu ambruk pingsan setelah tubuhnya menghantam aspal jalan. Asha menoleh ke arah sang penyelamat. Jeno-lah orangnya.
Dia menghajar semua berandal itu seorang diri. Bunyi pukulan demi pukulan terdengar ngilu memerangkap rungunya. Menyaksikan kesepuluh pemuda yang telah berjatuhan, mengundang rasa kagum melihat Jeno tidak terluka.
"Jen—"
"Lo bisa gak sih, ngelawan kalau ada yang semena-mena sama lo?"
Perkataan Jeno barusan menghentikan kalimat yang akan keluar dari belah bibir Asha. Gadis itu diam memandang netra cokelat gelap milik Jeno yang menampilkan sorot kekhawatiran.
"Aku gak suka cari ribut, Jeno."
"Dengan lo milih diem kayak orang penyakitan gitu, bakal bikin orang lain jadi kasihan sama lo? Enggak! Justru mereka bakal lebih seneng lo menderita di atas kepentingan mereka sendiri!"
Asha tak merespons ucapan Jeno. Dia memilih diam menatap dengan tenang saat Jeno menasehatinya. Hal itu membuat Jeno mendecak kesal.
"Lo paham gak sih yang gue maksudin?!" tanyanya setengah membentak.
"Paham, Jeno, paham. Maaf."
Jeno tak menjawab. Tapi pemuda itu menarik tangannya guna mengikuti si empu. Ternyata Jeno membawa Asha ke rumah pemuda itu. Asha dibuat terkekeh oleh sikap perhatian Jeno pada dirinya. Apa yang merasuki Jeno sehingga mau repot-repot membantunya segala?
Rumah kediaman keluarga Jeno cukup besar. Banyak barang berharga yang pasti mempunyai harga mahal nan fantasis. Asha melihat beberapa bingkai foto terpajang di dinding, dari foto keluarga sampai foto Jeno waktu masih bayi, balita, anak-anak, hingga remaja.
"Duduk."
Asha menurut. Tak mau makin membuat tuan rumah kesal. Ia mendudukkam dirinya pada sofa empuk, sementara Jeno pergi entah ke mana.
Asha mengamati sekelilingnya. Rumah besar yang bersih serta sangat terawat. Bahkan Asha sama sekali tidak melihat adanya debu, kotoran atau jaring laba-laba di langit-langit rumah. Pasti Jeno mempunyai asisten rumah tangga yang setiap hari membersihkan rumah sebesar ini. Jeno benar-benar sangat beruntung. Pikir gadis itu.
Lalu beberapa saat kemudian, Jeno datang. Di tangan kanannya menenteng kotak berukuran sedang berwarna merah. Terdapat tanda '+' putih pada bagian tengah badan kotak tersebut. Asha menatap Jeno guna memastikan apa yang membuat Jeno sampai mengambil kotak P3K. Ia tak mengalami luka-luka.
"Obati." Jeno menaruh kotak itu di pangkuan Asha.
"Tapi aku gak papa, Jeno. Gak ada yang luka."
Pemuda itu memandang Asha datar. "Bukan lo, tapi gue," ujarnya seraya menunjukkan kedua tangannya yang memerah pada bagian tulang metakarpal. Asha terperanjat kecil. Tangan seputih susu tersebut benar-benar kontras dengan warna merah memar.
"Maaf, Jeno." Asha lekas membuka kotak obat itu. Melihat ada berbagai jenis obat-obatan, salep, antiseptik, plester, perban, kapas, dan masih banyak lagi. Asha tidak tahu mana yang harus digunakannya untuk meredakan sakit di jari-jari tangan Jeno. Ia tak paham tentang dunia medis.
Jeno sendiri diam memperhatikan bagaimana gadis di depannya ini tampak kebingungan. Sudut bibirnya sedikit tertarik menahan tawa.
"Salep Thrombophob," ujar Jeno tanpa memandang Asha. Ia buang muka ketika Asha menatapnya.
"Salep Thrombophob?" ulang Asha. Namun, Jeno tak membalas. Ia masih membuang muka berpura-pura melihat sesuatu.
Sorot mata Asha bergulir mencari salep dengan tulisan Thrombophob. Begitu telah menemukan, Ia lekas membuka penutup salep tersebut. Jeno mengulurkan tangannya. Asha memegangi pergelangan tangan Jeno, sementara sebelah tangannya sibuk mengoleskan salap tersebut dengan pelan-pelan. Terakhir, Asha membalutnya dengan perban.
"Oke, udah," gumamnya sembari merapikan salep dan perban untuk dimasukkan kembali ke dalam kotak.
"Hm, makasih."
Asha tersenyum tulus. Ia mengambil sebelah tangan Jeno yang juga sama-sama diperban, kemudian dielus dengan penuh kelembutan. "Maaf udah bikin kulit cantik kamu jadi mencetak luka. Seharusnya kamu biarin aja. Mau aku ngelawan atau enggak, mereka bakal tetep cari masalah," ungkap Asha masih diselingi dengan elusan di jari-jari Jeno.
"Tapi seenggaknya lo bisa aman. Besok lo sibuk?"
Asha mengangguk pelan. "Aku harus kerja sehabis pulang sekolah."
Jeno mendecak. Ia melupakan yang satu itu. "Berarti sabtu dan minggu lo harus ikut gue. Jangan ngebantah apalagi nanya-nanya, intinya lo ikut aja," ucapnya memerintah, sedikit memaksa lebih tepatnya.
"Baiklah."
KAMU SEDANG MEMBACA
CANTIK
Teen Fiction"Tidak ada alasan apapun, hanya kamu yang menjadi alasanku untuk tetap singgah." --- [g×b stories, jangan salpak] Jn: ⬇ Sh: ⬇ Ys: ⬇ © Pin, Edited by Lillavias