Chapter 19

1.5K 182 32
                                    

Nada instrumental piano yang bersumber dari dalam ruang musik menghentikan langkah Asha yang hendak membuka pintu. Alunannya terdengar sangat indah, menggetarkan jiwa Asha dikala mendengarnya.

Sejenak Asha menunggu hingga permainan piano itu usai. Dia bersandar di depan ruang musik—tepatnya di samping pintu masuk seraya bersedekap dada.

Beberapa saat kemudian, tak terdengar lagi tuts-tuts piano yang dimainkan. Asha pun kemudian memutar gagang pintu, senyumnya terbit mendapati punggung Jeno. Ia menghampiri, mendudukkan dirinya di samping Jeno yang mana membuat pemuda berparas cantik itu sempat tersentak kecil oleh kedatangannya.

"Asha, aku kira siapa!"

Gadis itu merengkuh pinggang ramping Jeno. Membelainya lembut guna mengantarkan perasaan nyaman dengan kepala yang disandarkan pada bahu sang kekasih.

"Ayo, mainkan lagi sekali buat aku."

"Kamu denger?" tanya Jeno terkejut.

Asha mengangguk pelan. "Kamu hebat, aku nggak nyangka kamu bisa main piano."

"Dari kecil ayah selalu ngajarin aku, tapi sejak masuk SMP, aku udah nggak lagi main piano. Aku cuma iseng, mau tes sedikit apa masih bisa mainnya, tapi lupa beberapa lagu yang dulu aku pelajarin."

"Tapi yang tadi kamu mainnya bagus banget. Aku mau denger lagi, boleh?"

Jeno mengangguk antusias. Sementara Asha melepas rengkuhannya, memberikan celah agar Jeno leluasa.

Kedua jemari lentik Jeno sudah berada di atas tuts. Menekannya lembut hingga menciptakan nada yang membuat Asha memejamkan mata.

I would never fall in love again until I found her~

I said, "I would never fall unless it's you I fall into"~

I was lost within the darkness, but then I found her~

I found you~

"Aku cuma pengen ngehabisin waktu berdua sama kamu sampai seterusnya. Aku sadar aku mulai cinta sama kamu, Asha. Aku nggak mau sampai harus berpisah sama kamu. Kamu cuma punya aku doang."

....

Asha menyeka sudut bibir Jeno yang terkena noda es krim. Sedikit terkekeh geli melihat betapa lucu pemuda ini.

"Pelan-pelan ah makannya, belepotan semua tuh."

Jeno tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang ikut terkena cokelat. "Kalau belepotan, 'kan ada Asha yang bantu bersihin, hihi," ujarnya gembira. Lanjut melahap es krimnya.

Asha menggeleng-gelengkan kepala, merasa tak habis pikir. Ia sedikit tidak menyangka bisa menyaksikan langsung sikap manja Jeno yang memang semenggemaskan itu.

"Asha mau nyobain?"

"Buat kamu aja."

"Enak tau! Asha musti nyoba!" pekiknya memaksa. Mau tidak mau Asha pun mengiyakan saja.

Namun, yang Asha kira Jeno akan menyodorkan es krim itu kepadanya, justru Jeno mengoleskan es krim itu ke bibirnya sendiri. Dengan cepat Jeno menarik tengkuk Asha, membiarkan bibir mereka saling menempel.

Asha terdiam membatu. Dia bisa melihat mata yang biasanya memancarkan kecantikan tersendiri itu, terpejam menikmati posisi mereka saat ini.

Jantung Asha berdetak lebih kuat saat merasakan bibir Jeno bergerak. Asha juga merasakan rasa cokelat manis dari es krim milik Jeno di indra perasanya.

Jeno melumat lembut bibir Asha. Bahkan kini kedua tangan Jeno berada di rahang Asha. Menahan pergerakan Asha yang hendak mundur. Asha ingin sekali berteriak dalam sanubarinya.

Pagutan mereka terputus saat hampir satu menit berciuman. Asha memandang wajah Jeno yang memerah tersipu, terlihat sangat cantik.

"Jeno, kamu terlalu berani. Untung nggak ada yang lihat."

Si manis itu memajukan wajahnya lagi untuk mengecup singkat bibir Asha. "Ayo pulang. Asha lapar, 'kan?" tanyanya beranjak berdiri. Jeno mengulurkan tangannya membantu Asha berdiri, lalu keduanya berjalan beriringan meninggalkan taman.

"Ehm, ya, sedikit."

"Kalau gitu, biarin istri Asha ini masak makanan kesukaan Asha hari ini! Asha mau makan apa?"

"Uhm, apa ya? Aku nggak punya makanan kesukaan. Aku suka semua masakan kamu."

"Gimana kalau sup ayam?"

"Boleh."

....

Bugh! Bugh! Bugh!

Samsak yang tergantung itu menjadi sasaran empuk sosok pemuda yang masih mengenakan seragam sekolah itu. Bunyi pukulan hingga tendangan yang energik menggema di dalam ruangan bercat dinding abu-abu keseluruhan.

Hanya saja dia tidak sedang latihan. Namun, api amarah telah menyulut kesabarannya.

"Tenang, Van, lo kayak orang gila, tau nggak sih lo?"

Pemuda itu adalah Vano. Sosok yang meneriakinya barusan adalah Ian yang memang menemani sang sahabat sejak awal dirinya ingin sekali memukuli sosok yang merupakan sahabatnya juga ketika mereka melintasi taman.

"Lagian ngapain juga lo musti marah lihat Jeno sama Asha ciuman? Sumpah lo aneh banget, Van."

Vano berhenti memukuli samsak, beralih menatap Ian. "Nggak usah banyak omong lo. Gue nggak ada minta lo buat ngomong, jadi nggak usah banyak bacot!"

Ian memutar bola matanya jengah. Dia memilih kembali berfokus pada bukunya daripada meladeni Vano.

"Si bajingan itu emang licik. Gue musti nyingkirin Jeno secepatnya!"

Perkataan Vano mendapat lirikan Ian. "Lo nggak usah aneh-aneh deh. Gue nggak pernah nyangka pertemanan kita jadi begini cuma karena cewek itu, seriously? Bukannya lo benci banget sama Asha? Lo nggak bisa bertindak seenaknya. Lo sendiri yang ngasih tantangan itu ke Jeno, jadi kalo mereka pacaran, lo nggak perlu bertindak kekanak-kanakkan."

"Gue nggak bertindak seenaknya, tapi dia duluan yang mancing perkara sama gue. Lo kalau nggak mau bantuin gue, nggak usah banyak bacot pake segala nasehatin gue! Seharusnya temen lo noh yang lo kasih nasehat. Karena dia, adek kelas yang pernah deket sama Asha kena fitnah sama omongan sampahnya!"

Ian mendengkus sinis. "Kalian berdua emang udah gak waras!" ujarnya berlalu pergi.

Vano melempar sarung tinjunya asal. Tatapannya menajam, menyiratkan kemarahan serta kebencian. Ia tidak akan mendengarkan perkataan Ian tadi. Vano tetap akan menyingkirkan Jeno, apapun caranya.

CANTIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang