Chapter 24

1.4K 159 19
                                    

"Ibu, Ayah, aku pulang!" Asha berseru tidak terlalu kencang di depan pintu. Mengetuk beberapa kali agar ibu dan ayahnya mendengar.

Asha melirik gagang pintu yang bergerak turun, disusul dengan pintu berbahan kayu jati itu terbuka dari dalam.

Muncullah sesosok pria yang terlihat masih cukup muda, berparas ayu, tapi satu hal yang perlu diketahui bahwa pria itu adalah ayah Asha.

Mendapati sang putri pulang, wajah dewasa pria itu tampak berseri-seri. "Ya ampun, Asha! Kenapa nggak telepon orang rumah? Kamu ini kebiasaan banget, ya! Gimana kalau terjadi sesuatu yang buruk kalau kamu nggak ngabarin ayah atau ibu? Kamu bandel banget!" omelnya. Bukan sekali duakali Asha pulang ke rumah tanpa berkabar terlebih dahulu. Apalagi pulangnya larut malam begini, orang tua mana yang tidak cemas?

"Maaf, Ayah. Aku nggak sempet. Oh, iya, kenalin, ini Jeno."

Jeno yang sedari tadi hanya mengamati interaksi ayah dan anak itu langsung menggeser tubuhnya dari balik badan Asha agar lebih terlihat oleh pria itu. Tak lupa memberi seulas senyum ramah. "Selamat malam, uhm—"

"Kamu pasti pacarnya Asha, 'kan? Panggil ayah aja," ucap ayah Asha disertai kekehan gemas. "Yaudah masuk dulu, nggak enak dilihat orang lain. Jeno, anggap rumah sendiri, ya. Maaf rumahnya kecil."

"N-Nggak papa kok, Y-Yah."

Asha langsung mendudukkan diri di kursi khusus tamu yang terbuat dari kayu. Sungguh perjalanan yang sangat melelahkan. Asha pun kemudian melirik Jeno yang duduk di kursi single, terlihat gugup dan canggung.

"Ibu ke mana, Yah?"

"Oh, ibu, tadi pamitnya sih mau ke rumahnya pak Bimo, tapi nggak tau kok belum pulang juga sampai sekarang," jawab ayah dari dapur. Pria itu keluar membawa nampan yang sudah terisi seteko minuman, dua gelas, ditambah sepiring makanan terbungkus daun pisang.

"Diminum dulu wedang jahenya. Habis kena angin malem enaknya minum yang anget-anget. Terus ini kue nagasari. Habisin, dijamin enak."

Jeno melirik Asha yang mengangguk meyakinkannya. Tangan kanannya kemudian mengambil salah satu kue nagasari itu dengan pandangan bingung sekaligus takjub.

"Kamu belum pernah nyobain kue nagasari, ya?" tanya ayah menahan tawa menyaksikan Jeno hanya memutar-putar kue yang terbungkus daun pisang itu. Sepertinya dia tidak tahu cara membukanya.

"Belum, hehe."

Saat ayah hendak mengambil alih kue itu, Asha telah terlebih dahulu meraihnya. Gadis itu membantu membukakan bungkus pisang yang membungkus kue sebelum diberikan lagi pada sang kekasih.

Ayah menatap sang anak dengan raut menggoda. Asha hanya bersikap biasa saja sembari ikut makan kuenya.

"Jay, kenapa pintunya dibiarin—terbuka." Sosok wanita berkaos putih berlogo jagung dengan celana pendek selutut berwarna coksu itu tertegun.

"Kapan kamu sampai rumah?" tanyanya sedikit sewot. Ia melirik sejenak pada eksistensi pemuda manis yang pipinya tampak menggembung lantaran tak lanjut mengunyah kue dalam mulutnya. Sepertinya pemuda itu cukup terkejut melihat kehadirannya.

"Beberapa menit yang lalu. Maaf, nggak sempet ngabarin."

Wanita itu kembali menatap sang anak, langsung menghela napas. "Jangan kebiasaan pulang malem-malem. Bahaya. Udah berapa kali Ibu bilang, kalau mau pulang malem telepon Ibu," tuturnya menasehati. "Apalagi kamu bawa ...." Perkataan sang ibu terjeda lantaran netranya beralih pada Jeno.

"Dia Jeno, pacarku."

Lagi dan lagi ibu menghela napas. Jay lantas berdiri menghampiri istrinya. Diusaplah pundak sang istri sambil tersenyum berusaha menenangkan. "Yuk, ke kamar. Kalian kalau udah selesai, langsung ke kamar aja. Asha, nanti tunjukin kamar satunya buat Jeno, kita tidur duluan. Sebelum tidur bersih-bersih badan dulu biar enak tidurnya. Selamat malam," ucapnya lalu menyeret lengan sang istri.

CANTIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang