"Jeno, Jeno, Jeno! Tunggu!" Asha meraih pergelangan tangan kanan Jeno dirasa telah berhasil mengejarnya sampai halte.
Napas gadis itu terengah. Padahal hanya berjarak beberapa meter dari gerbang menuju pemberhentian bus. Mungkin efek karena dirinya tidak pernah berolahraga, yang menyebabkan dirinya saat berlari sedikit, sudah langsung sesak napas.
Jeno berbalik dengan menunjukkan ekspresi datar. Netranya memandang Asha seolah-olah tak tertarik. Namun, siapa sangka jika kini jantungnya tengah berdebar-debar?
"Ayo pulang bareng."
Sebelah alis Jeno terangkat. "Katanya mau ketemu temen?"
"Gak jadi. Ada prioritas yang lebih penting daripada yang lain."
Diam. Jeno dibuat terdiam. Ekspresinya masih datar, hanya saja, semburat merah muda di kedua pipinya terpampang cantik dibersamai degup jantung kian membuncah.
Bus tiba di depan. Telapak tangan Asha yang berada di pergelangan Jeno, berpindah turun meraih jari-jemari lentik yang terasa halus di permukaan kulitnya. Kedua telapak tersebut saling bertautan. Asha menarik Jeno menaiki bus yang akan membawa mereka menuju tempat berpulang ternyaman.
Begitu telah di dalam, Asha mempersilakan Jeno untuk duduk terlebih dahulu di dekat jendela. Empunya tak banyak bersuara, langsung duduk menyamankan diri. Asha setelahnya. Cahaya matahari sore membias mengenai separuh wajah putih Jeno yang tampak bersinar di bawah sinar oranye.
Asha menatap Jeno dengan tatapan teduh, membuat yang ditatap pun bergeming di tempat.
"Jeno, boleh aku menyentuhmu?"
....
Asha dan Jeno tiba di depan gerbang sebuah perumahan. Rumah itu adalah rumah kediaman keluarga Jeno. "Aku langsung ke tempat kerja setelah ini. Kamu masuk duluan sana."
"L-Lo gak mau mampir dulu?"
Gadis itu tersenyum kecil sembari membelai halus bahu Jeno. "Lain kali, ya? Aku musti bergegas, karena katanya kafe lagi rame banget."
"Kalau gitu lo aja yang duluan."
"Yaudah. Aku pergi, ya?"
"Ehm."
"Kalau butuh sesuatu, telepon aku. Kamu punya nomorku, 'kan?"
"Eeee ... punya," ujarnya pelan. "Semoga di grup kelas ada." Jeno melanjutkan kalimatnya di dalam hati. Ia tidak mau mengecewakan Asha kalau kenyataannya dia tidak menyimpan nomor telepon gadis itu.
"Baiklah. Sampai jumpa besok, Puppies."
Asha menyempatkan diri mengacak-acak surai halus Jeno. Dirinya berlalu dari rumah kediaman kepala sekolah. Meninggalkan Jeno yang langsung menyentuh bagian dadanya, di mana dirinya merasakan jantungnya benar-benar tak berdetak seperti biasanya seharian ini.
Dan apa tadi, Puppies? Asha memanggilnya Puppies?
Jeno tak dapat menyembunyikan senyumannya. Dia memandang punggung Asha yang semakin jauh dari mata memandang. Gadis itu tidak seperti kebanyakan gadis yang pernah ditemuinya, dan sialnya lagi, Jeno menyukai cara perlakuan Asha terhadap dirinya.
....
Asha membalik papan gantung yang semula bertuliskan 'open' menjadi 'close'. Ia mematikan lampu kafe lalu menutup pintu kemudian dikuncinya dari luar. Ia menyerahkan kunci kafe tersebut kepada rekan kerjanya yang merupakan keponakan pemilik kafe.
"Hati-hati pulangnya, Ryo, aku duluan," ucap Asha pada pemuda di belakang tubuhnya.
Pemuda bernama Ryo tersebut tersenyum manis. "Kak Asha juga. Maafin Ryo karena gak bisa anter kakak pulang."
Asha terkekeh kecil. Pemandangan di depannya benar-benar bisa membuat siapapun merasa gemas pada sosok bertubuh mungil ini. "Kamu bocil gegayaan mau nganter aku pulang? Justru kayaknya aku yang musti nganterin kamu deh?" ujar Asha bercanda, yang mana membuat si empu langsung memanyunkan bibir.
"Eh, aku berani, ya! Kakak ngeremehin aku?"
"Enggak-enggak. Udah, sana, kamu pulang. Semakin larut gak baik buat kamu."
"Okey dokey, Kak. Kalau gitu, sampai ketemu besok! Jangan lupa ajarin Ryo matematika!" teriaknya sambil berlari meninggalkan area kafe. Asha menggeleng-gelengkan kepala sambil terkekeh menyaksikan tingkah lucu pemuda yang baru kelas 9 sekolah menengah pertama itu.
Asha memutuskan untuk pergi juga. Ramainya kafe sampai membuat Asha sangat lelah. Hal itu yang menyebabkan kafe lebih lambat tutup dari jam-jam biasanya. Ponselnya pun telah mati daya. Ia lupa membawa charger ponsel. Dirinya tidak sempat melihat jam berapa sekarang.
Ia berjalan di sepanjang trotoar. Jalanan sudah tak seramai saat di siang hari. Asha melihat seekor kucing melintas di depannya. Tampaknya kucing berwarna abu-abu tersebut hendak menyeberang jalan. Ia melihat jalanan sedikit lenggang, tetapi tak diduga sebuah mobil dari kejauhan melaju cepat ke arah kucing itu.
Netranya membola kala menyadari itu. Badannya secara tiba-tiba bergerak, hendak mengambil kucing tersebut guna memindahkannya ke tempat aman. Namun, pergerakannya kurang gesit. Sebuah tangan terlebih dulu menggendong kucing itu dan nyaris terserempet bagian depan pinggiran mobil.
Asha memandang sosok berjaket hoodie sewarna biru cerulean yang tengah menggendong kucing. Wajahnya tampak tak asing. Ia seperti pernah melihatnya, tapi Asha merasa kurang pasti di mana.
"Kamu baik-baik aja?" tanya Asha begitu sadar jika pemuda di depannya ini nyaris tertabrak mobil tadi.
"Ehm, gak papa. Tapi kayaknya kucingnya yang gak papa."
Asha langsung memfokuskan pada hewan mungil di dekapan pemuda itu. Apanya yang tidak baik-baik saja? Kucing tersebut terlihat sehat.
"Badannya gemetar, mungkin kaget," ungkapnya tatkala menyadari sumber kebingungan Asha.
Gadis itu mendekat kepada si pemuda yang ternyata memiliki tinggi badan hanya sebatas telinga Asha saja. Dia mengelus kepala kucing tersebut dengan pelan guna membantunya menenangkan kecemasan si kucing. Ia beralih menatap sang pemuda yang rupanya juga tengah menatapnya dengan netra sayu.
"Kak Asha," panggil pemuda berwajah manis itu.
Asha dibuat terkejut. "Kamu ... tau ... namaku?" tanyanya terheran-heran. Dia bahkan belum menyebutkan namanya.
"Aku Hanan, Kak."
Bagus, dunia sungguh sempit.
KAMU SEDANG MEMBACA
CANTIK
Teen Fiction"Tidak ada alasan apapun, hanya kamu yang menjadi alasanku untuk tetap singgah." --- [g×b stories, jangan salpak] Jn: ⬇ Sh: ⬇ Ys: ⬇ © Pin, Edited by Lillavias