Chapter 08

2.2K 231 25
                                    

"Lo masuk duluan aja, gue ada urusan."

Asha melirik Jeno sekilas, kemudian mengangguk singkat tanpa banyak bertanya. Begitu Jeno telah berputar arah, Asha melanjutkan jalannya, masuk ke area aula sekolah. Melewati tiap koridor-koridor yang diisi oleh segerombolan murid-murid tengah bercanda bersama teman-teman mereka.

Dia iri. Setahun lebih berada di sekolah ini, tidak pernah sama sekali dirinya merasakan rasanya bisa bercanda bersama seorang teman. Boro-boro memiliki dua teman, satupun Ia tidak punya. Lagipula, siapa yang mau berteman dengan orang miskin yang masuk ke SMA Neocity berkat keberuntungan karena mendapat beasiswa?

Semua orang menerapkan sistem kasta diantara mereka. Hanya anak orang kayalah yang dapat berteman dengan anak orang kaya lainnya. Mereka dapat membahas banyak hal melalui kuasa yang dimiliki orang tua mereka.

"Kak Asha."

Empunya nama yang dipanggil sedikit terperanjat. Tak sadar telah melamun sepanjang jalan menuju kelas. Dia berbalik badan guna melihat si pemanggil yang ternyata adalah sosok yang semalam telah dia beri janji akan mentraktirnya.

"Hanan? Ada apa?"

Pemuda bersweater baby blue itu tersenyum manis, berlari kecil menghampiri Asha. Semakin Hanan mendekat, semakin terlihat perbedaan tinggi badan keduanya.

Asha dapat menghirup aroma lembut saat Hanan kini sudah berada di depannya. Pemuda berwajah manis itu punya aroma yang menenangkan. Parfum apa kira-kira yang dikenakannya sampai bisa membuat Asha jauh lebih baik ketika menciumnya? Sungguh, Asha tak berbohong. Hanan benar-benar bisa membuat Asha ketagihan akan aromanya.

"Kakak sendiri yang kenapa? Kakak ada di area koridor kelas sepuluh. Tadinya Hanan kira kakak itu orang lain, tapi dilihat-lihat mirip kak Asha, dan benar aja kalo itu kakak, makanya Hanan samperin. Kak Asha kayak orang lagi ngelamun," ungkapnya menjelaskan.

Hal itu mengundang kekehan sang lawan bicara. Sejelas itukah lamunan dirinya sampai-sampai Hanan langsung menyadari.

"Maaf, aku gak ngeh kalo bisa sampai sini."

Hanan menggeleng kecil. Dirinya menatap khawatir sosok yang lebih tinggi darinya. "Tapi kakak gak lagi mikir sesuatu yang berat, 'kan? Perlu cerita? Hanan siap jadi pendengar kak Asha kalo kakak butuh tempat bercerita."

"A-Ah ... gak perlu. Aku cuma mikir hal ... kecil, hahahaha!" gelaknya hambar. "Ya sudah, kalau gitu aku balik ke kelas dulu. Oh, ya, nanti kamu langsung ke kantin aja. Sampai ketemu nanti." Tanpa menunggu balasan Hanan, Asha bergegas pergi dari tempatnya. Meninggalkan Hanan yang memandang kepergian Asha dengan pandangan sayu.

....

Brak

Asha mengangkat kelopak matanya, menatap sesosok pemuda yang baru saja menaruh secara kasar tumpukan buku ke atas mejanya.

"Besok udah harus siap," perintahnya ketus, lalu berbalik kembali ke tempat duduknya dirasa sudah tidak ada perlu lagi dengan Asha.

Helaan napas keluar dari belah bibir tipis tersebut. Hampir setiap hari Ia mendapat extra job, itupun dengan tenggat yang singkat. Kalau dibayar, Asha dengan sukarela melakukannya, tapi jika tidak?

Mau menolak atau membantah mereka pun, sama saja mencari perkara yang menyebabkan pencabutan beasiswa yang telah didapatkannya susah payah. Tapi kalau boleh jujur, Asha ingin sekali melawan untuk haknya. Namun, mengingat statusnya yang jauh sekali, bagaikan langit dan bumi dengan orang-orang kaya itu, bisa apa dia selain diam?

Asha berusaha menahan amarah yang meledak-ledak dalam hatinya. Meminggirkan tumpukan buku yang menghalangi pandangan matanya pada buku paket yang sedang Ia baca untuk ulangan harian sehabis istirahat nanti.

Jam ke tiga-empat kosong. Itu mengapa suasana di kelas 11 IPS 2 riuh. Asha pun lekas menutup buku paket di tangannya. Memasukkannya ke dalam tas agar tidak hilang. Antisipasi saja sih. Lalu dirinya berlalu keluar dari dalam kelas. Janjinya dengan Hanan kali ini harus ditepati, takutnya Hanan benar-benar mengharapkan traktirannya dan kini telah menunggu seorang diri.

Dan benar saja. Pemuda pendek berbadan mungil itu sudah ada di salah satu meja. Hanya sendiri sembari melihat siswa-siswi berdatangan dan memesan makanan. Asha terkekeh pelan. Ia melangkah menghampiri. Begitu sampai, menyentuh lembut pundak sang adik kelas.

"Kamu datang lebih awal dari yang aku kira."

Raut yang tadinya tidak memperlihatkan ekspresi itu, kini tampak berseri-seri. Senyum manisnya terbit. Ah, lucu sekali. Pikir Asha dalam benaknya.

"Kelas Hanan dari masuk tadi jamkos terus, jadinya pas jam keempat Hanan sengaja ke sini duluan dan milih tempat buat kita makan, hehe."

"Begitu ternyata. Mau makan apa? Biar aku pesenin, mumpung belum terlalu rame," tawar Asha masih di posisi sama, berdiri di samping meja.

Netra berpupil cokelat madu tersebut melirik sebuah MMT harga yang tergantung di atas sebuah stand. Banyak pilihan yang dimulai dari harga sedang hingga lumayan menguras pengeluaran. Bahkan tak hanya di stand yang Ia lihat saat ini, tapi di beberapa stand lain, harga makanannya cukup besar bagi orang seperti Asha.

Hanan kembali menatap Asha. "Kak," panggilnya pelan. Membuat Asha yang tadinya ikut melihat daftar menu pun beralih pada sosok di depannya.

"Hanan tiba-tiba pengen makan nasi uduk di warteg depan. Ayo, Kak, kita makan nasi uduk aja. Udah lama banget Hanan gak makan nasi uduk nih," tuturnya berbisik. Sang kakak kelas pun mengernyit bingung. Tak ingin mendengar protesan Asha, pemuda manis itupun lekas menarik pergelangan Asha dan membawanya pergi dari area kantin.

Kepergian kedua entitas berbeda tingkatan itu ternyata dilihat oleh Jeno yang dari awal duduk di meja pojokan bersama teman-temannya. Dia melihat semuanya, ketika Asha datang menemui Hanan lalu berbincang-bincang sangat akrab.

....

Tak terasa akhirnya waktu pulang sekolah telah tiba. Semua murid berhamburan keluar. Ada yang bersama teman mereka, ada pula yang sendiri seperti Asha.

Gadis itu mencangklong tas sekolahnya sebelum akhirnya keluar, dirasa teman sekelasnya semua sudah tidak ada di sekitar koridor. Ingat, Asha tak ingin mengambil risiko menjadi bahan perundungan oleh orang-orang yang selama ini banyak sekali merugikannya.

"Asha."

Sebuah suara familiar terdengar masuk ke dalam rungunya. Si pemilik nama pun menengok tepat ke arah anakan tangga yang menghubungkan lantai dua ke lantai tiga, di mana itu merupakan rooftop. Sosok Jeno yang menjadi gerangan pemanggil namanya. Dia bersandar pada pegangan tangga, berada di anakan tangga nomor tiga dari bawah.

"Oh, Jeno, kirain udah pulang."

Pemuda bersweater hitam tersebut langsung melangkah turun melewati tiga anakan tangga sekaligus. Dia bersedekap dada, seolah-olah tengah menunggu sesuatu dari sosok Asha yang justru kini memandangnya dengan sorot teduh.

"Ada sesuatu yang mengganggu kamu?" tanyanya memastikan. Hal itu membuat Jeno langsung menghela napas kesal. Gadis ini memang tidak peka ya?

"Pengen nasi uduk tiba-tiba."

Asha mengerjabkan kedua matanya bingung. "Hah?" Apa yang sebenarnya sedang Jeno coba lakukan? Sungguh, Asha tak mengerti oleh permainan kata-kata. Terdengar seperti kode, tetapi nada bicara Jeno barusan tak menunjukkan dirinya benar-benar menginginkan seperti apa yang dikatakannya.

"Nasi uduk!" ujarnya penuh penekanan. Jeno jadi gregetan sendiri dengan sosok di depannya ini.

"K-Kamu mau makan nasi uduk? Ya udah ayo kita cari. Di warteg depan ada sih, tapi kira-kira masih ada gak ya jam segini?"

Perkataan Asha tersebut direspons datar oleh Jeno. Tanpa sepatah kata terucap dari belah tipis sewarna buah ceri itu, empunya langsung pergi begitu saja.

"Eh? Jeno, tunggu, Jeno!" Asha mendesah lelah. Iapun mengejar Jeno. Entah apa yang terjadi dengan pemuda manis itu, Asha pun tidak bisa menebaknya jika begini.

CANTIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang