Chapter 25

1.3K 169 25
                                    

Asha mengerutkan dahi merasakan getaran dari ponselnya. Dia meraih benda pipih itu guna melihat siapa gerangan yang mengusik tidurnya.
_____

Vano
|Sha, kamu pulang
kampung kenapa
nggak ngomong sama
aku?
05.03

|Kamu ngajak Jeno?
Sha, kenapa malah
ngajak dia sih? Kalau
gitu mendingan aku
yang kamu ajak :(
05.03

|Sha! Bales chatku!!!!
05.03

|Asha!!!!!
Kamu ngapain? Jeno
nggak macem-macem
'kan sama kamu?
05.04
_____

Helaan napas keluar dari belah bibir tipis itu. Asha lupa mengabari Vano—eh ralat, sejujurnya tidak lupa juga sih, tapi Asha hanya tidak ingin Vano merengek minta ikut, seperti dalam pesan obrolan pemuda itu. Sehingga Asha pun mulai mengetik balasan meski dengan mata berkedip-kedip menahan kantuknya yang kembali hadir.

_____

Maaf, nggak sempet kasih
kabar. Lain kali aku ajak
ke sini, oke?
05.07

Pulang dari sini kamu
mau dibawain apa
sebagai permintaan
maafku karena nggak
ngajak kamu?
05.07

|Apa aja nggak masalah,
asal itu dari kamu aku
bakal hargai pemberian
kamu😊
05.07

|Terima kasih><
05.07

|Love u, Asha!
05.07

_____

Asha hanya tersenyum tipis membaca pesan terakhir Vano. Kemudian dia mematikan ponselnya, berniat ingin melanjutkan tidurnya yang sempat terganggu. Namun, alih-alih bisa tidur kembali, Asha menjadi tidak mengantuk sama sekali. Mau tidak mau Asha bangun. Berjalan keluar dari kamar, hendak ke kamar mandi sebelum pandangannya menangkap dua orang tengah berbincang sembari masak bersama di dapur.

Senyumnya terbit menyaksikan Ayahnya dan Jeno tampak asyik berbicara satu sama lain. Lantas Asha pun masuk ke dalam kamar mandi. Hanya untuk cuci muka dan gosok gigi. Setelah selesai, dia ikut bergabung dengan kedua lelaki berbeda usia itu yang masih sibuk sampai tidak menyadari kedatangannya.

Berakhir keduanya kaget melihat kemunculannya, dilanjut sarapan bersama dengan suasana hangat, dan kini Asha dan Jeno telah berada di depan pusara makam yang diketahui adalah adik Asha.

Gadis itu menaruh sekuntum bunga mawar putih di atas kijing sang adik. Asha berjongkok di samping pusara, berusaha menahan air matanya yang siap keluar mengingat momentum kebersamaannya dulu saat adiknya masih hidup.

Jeno di belakang Asha terdiam mematung memandang pusara di hadapannya. Nama yang terpampang pada nisan tampak tak asing diingatannya.

"Arumi Widianingrat ...?"

Jeno memejamkan mata mengingat-ingat nama itu.

"Ampun ... ampuni aku ... k-kumohon ampuni aku ...."

"Jangan lakukan ini! Tolong! Lepaskan aku! Tidak! Lepas!"

"Diem lo, Jalang! Tinggal nikmatin aja apa susahnya, hah?!"

"Rumi, lo itu miskin, nggak usah banyak gaya lo mentang-mentang bisa sekolah di sini. C'mon guys, kita gilir rame-rame ni anak, hahahaha!"

Kedua mata Jeno terbuka dengan cepat. Sorot matanya langsung memandang penuh keterkejutan pada pusara di depannya. Tidak mungkin bukan kalau mendiang adiknya Asha adalah Arumi atau Rumi yang—

"Adikku dibunuh setelah diperkosa sama kakak kelasnya. Dia di sekolah kerap mendapat bulian, dan orang itu adalah orang yang sama yang udah bikin adikku pergi selamanya," tutur Asha tiba-tiba. Lalu berbalik badan menghadap Jeno yang terdiam membisu. "Pelaku nggak ditangkap karena orang tua pelaku berhasil membungkam rapat masalah ini lewat uang tentunya, hahaha, menyedihkan sekali."

Menyaksikan Asha menunduk sembari menghapus air matanya dengan usapan kasar, sukses menggetarkan seluruh tubuh Jeno terutama perasaannya yang kini benar-benar dibuat hancur lebur.

"Pulang yuk. Nggak baik lama-lama di kuburan. Banyak nyamuk juga ini. Lihat, kulit kamu jadi bentol-bentol gitu. Aduh, maaf, ya." Asha menggenggam telapak tangan Jeno seraya mengusap lembut bagian yang memerah karena gigitan nyamuk.

Jeno menggigit bibir bawahnya menahan isakan tangisnya. Kakinya melangkah mengikuti Asha yang masih belum melepaskan genggamannya. Namun, belum benar-benar keluar dari area pemakaman, Jeno berhenti dan langsung bersimpuh dengan tangisan pilu yang tak dapat lagi terbendung.

"Asha, aku pembunuhnya. Aku yang udah bunuh adik kamu, Asha. Aku juga yang udah perkosa dia, aku yang nyakitin dia, aku yang selalu gangguin dia, aku yang sering hina-hina dia. Aku, Asha, aku, aku pembunuhnya, aku ...!"

Jeno menjerit histeris mengakui perbuatannya di masa lampau.

Asha sama sekali tidak bergerak sedikitpun. Gadis itu menatap ke depan dengan kedua mata memerah yang sesekali berkedip tipis guna menghalau air mata yang mengganggu penglihatannya.

Kedua tangan Asha terkepal kuat, melukai telapaknya akibat kukunya menusuk lapisan kulit.

"Maaf, aku minta maaf, aku bener-bener minta maaf, Sha ...."

Tak tahu musti bereaksi bagaimana, Asha benar-benar tak berdaya mendengarkan isak pilu Jeno yang menyakiti hatinya.

Dari awal tiba di makam, Asha memang sengaja tidak memberitahu Jeno tentang adiknya. Asha sengaja ingin menyaksikan sendiri dengan mata kepalanya respons Jeno dengan membawanya langsung ke makam sang adik, apakah Jeno akan terus  menyembunyikan perbuatan buruknya atau sebaliknya malah mengaku.

Asha sempat kecewa saat Jeno tidak mengatakan apapun. Namun, tak disangka kini Jeno berani berterus-terang. Mengakui tindakannya tanpa ragu, meski fakta dari pengakuan Jeno tersebut mencabik-cabik jiwa dalam diri Asha.

Bolehkah Asha berharap bahwa apa yang Vano katakan waktu itu hanyalah omong kosong semata dan Jeno bukanlah pelaku yang membuat adiknya tiada?

"Maaf ... maafkan aku ... maafkan aku ...."

Racauan Jeno menyadarkan Asha yang sempat melamun. Dia menyeka air mata yang terus berluruhan tanpa mau berhenti. Lantas berbalik, melihat Jeno masih di posisi sama, menangis tersendu-sendu.

Dalam satu tarikan napas, Asha membawa tubuh gemetar itu untuk berdiri. Ditatap wajah merah Jeno seraya menghapus air mata si manis.

Asha mendekatkan wajahnya. Mencium kening yang tertutup oleh poni halus tersebut beberapa detik. Setelahnya Asha menjauhkan diri, masih menatap si manis yang tertunduk dengan napas tersendat-sendat.

"Aku maafin kamu," tuturnya lembut. Membelai pipi halus Jeno dengan ibu jarinya sekaligus menenangkannya. "Tapi hari ini dan seterusnya, kuharap kamu jangan suka merundung anak yang lebih lemah dari kamu, apalagi status sosialnya jauh di bawah kamu, mengerti? Oh, iya, satu lagi. Aku ingin kita berhenti sampai di sini."

Sontak Jeno mengangkat pandangannya. "A-Apa maksud Asha?" tanyanya dengan suara parau. Netranya bahkan berkaca-kaca lagi.

"Kita jalani kehidupan masing-masing, kamu mengerti 'kan maksudku, tanpa hubungan apapun. Kita selesai."

"...."

CANTIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang