Chapter 09

2.2K 226 21
                                    

Bagaimana cara membujuk laki-laki yang sedang marah?

Apa yang harus dilakukan ketika laki-laki sedang marah?

Sesuatu seperti apa yang dapat meluluhkan laki-laki yang sedang marah?

Asha menghela lelah. Sudah tiga jam dirinya memandang layar ponselnya. Masuk ke aplikasi google untuk mencari jawaban atas sikap Jeno padanya sepulang sekolah tadi, di mana pemuda itu benar-benar terlihat marah pada dirinya. Mungkin karena warung nasi uduk di depan sekolah kehabisan menu tersebut, menyebabkan Jeno pundung karena tidak mendapatkan keinginannya yang menginginkan makan nasi uduk "tiba-tiba".

Bahkan setiba Asha di rumah sewanya, Ia masih menyempatkan diri menghubungi Jeno dan meminta maaf untuk perihal Jeno yang tidak bisa makan nasi uduk hari ini. Namun, alih-alih mendapatkan jawaban atas permintaan maafnya, Jeno justru hanya membaca pesan singkatnya lalu setelah itu dia offline.

Itu sebabnya Asha langsung mencari tahu. Namun, jawaban dari google sama sekali tidak membantu. Jeno bukanlah tipikal dari semua kriteria yang diperlihatkan pada jawaban pencarian Asha, sehingga menyebabkan Asha tidak tahu musti berbuat bagaimana supaya Jeno tidak bersikap seperti waktu pertama kali mereka bertemu dulu.

Asha merenung memikirkannya. Di tengah renungan dalam keterdiamannya tersebut, Ia teringat jika belum mengerjakan tugas-tugas sekolah milik teman sekelasnya. Sontak hal itu membuat Asha pun beranjak berdiri, lekas mengambil tas sekolahnya kemudian duduk di kursi meja belajarnya.

Pertanyaannya tak seberapa, tapi jawabannya sungguh sangat banyak. Asha selesai satu, harus menyelesaikan satu lagi. Begitu terus sampai beberapa buku telah usai Ia kerjakan. Waktu juga terus berputar, separuh buku yang sudah selesai memakan waktu sampai jam sembilan malam. Di detik buku terakhir, tepat setengah sebelas baru Asha selesai.

Gadis itu bernapas lega sembari bersandar di kursi dengan kedua tangan menggantung di sisi kanan dan kiri kursi. Kepalanya ikut menengadah ke atas seraya memejamkan mata. Melepas penat di tangan juga kepalanya yang terasa sangat pening, apalagi bagian lehernya yang terasa pegal. Tak jarang terkadang Asha menggunakan koyo untuk meminimalisir rasa sakit di lehernya.

Drrrtt ... Drrrtt

Kelopak mata berpupil cokelat tua itu terbuka begitu mendengar getaran panjang pada ponselnya. Ia lalu menegapkan badannya guna meraih benda canggih di sebelah tumpukan buku untuk melihat gerangan yang menghubunginya malam-malam begini.

Tertera nama Hanan di layar atas. Tanpa berlama-lama lagi, Asha kemudian menggeser ikon hijau ke atas, sehingga sebelum menyerukan salam sebagai bentuk awalan, pertama kali yang didengarnya adalah isak tangis yang terdengar begitu pilu.

"K-Kak Asha ... to-long ... t-tolong, Kak."

"Hanan, kamu kenapa? Apa yang terjadi sama kamu?" Asha berseru sepanik-paniknya mendengar lirihan Hanan yang terdengar tak berdaya di balik sambungan telepon.

"K-Kak Asha! Tolongin Hanan, Kak. Tadi a-ada yang ngikutin Hanan, t-terus tiba-tiba dia mau nyerang Hanan. Dia bawa-bawa pisau. Hanan tadi lari terus sembunyi di dalem rumah kosong deket gang jalan ke rumah Hanan."

"Oke-oke, kamu tetep di situ, jangan ke mana-mana. Aku ke sana sekarang juga. Kamu tenang, jangan dimatiin sambungannya." Asha tanpa babibu langsung berlari keluar rumah.

Persetan dengan dirinya yang hanya memakai kaos hitam oblongan dengan celana training. Ada satu nyawa yang harus diselamatkannya sekarang juga.

Pikirannya berkecamuk. Di malam yang terasa sunyi karena orang-orang sudah terlelap mengarungi alam bawah sadar, siapa yang musti dimintai tolong?

Asha hampir dekat dengan tempat persembunyian Hanan. Gadis itu langsung masuk begitu sampai. Berbekal cahaya lampu jalanan yang menerobos masuk ke dalam rumah kosong, Asha mencari eksistensi Hanan sekaligus waspada semisal oknum yang hendak melukai Hanan juga berada di dalam rumah kosong ini.

"Hanan, kamu di mana?"

"Kak Asha?"

Asha menoleh ke salah satu ruangan. Hanan ada di sana, tampak mengintip guna memastikan. Asha tersenyum lega, melihat Hanan masih baik-baik saja meski di tengah minimnya cahaya, Asha bisa melihat jejak air mata pemuda manis itu masih membekas di kedua mata dan pipinya.

"Hanan." Asha menghampiri sang adik kelas. Pemuda itu tanpa aba-aba langsung memeluk erat sosok tinggi di depannya ini. Menumpahkan lagi tangisannya untuk yang entah sudah keberapa kalinya.

"Ssssst ... gak papa. Kamu udah aman, di luar udah gak ada siapa-siapa, kamu baik-baik aja, gak papa."

....

"Jadi, kamu kabur dari rumah karena mama sama papa kamu berantem?"

Hanan mengangguk lemah. Kepalanya pun tertunduk. Omong-omong mereka berdua saat ini berada di rumah sewa Asha. Setelah Hanan menceritakan mengapa dirinya malam-malam begini bisa berada di luar rumah, sampai membuatnya nyaris kehilangan nyawa, Asha memutuskan untuk membiarkan Hanan menginap.

"Ya sudah, kamu istirahat sana. Besok masih harus sekolah. Kamu tidur di kasur aja, biar aku tidur di kursi."

"Tapi, Kak—"

"Gak papa, Hanan. Lihat kondisi kamu. Jangan ngeyel, oke? Udah sana tidur, aku juga mau tidur ini."

Hanan menunduk lagi, merasa bersalah. Asha yang menyadari itupun lantas mendekat. Kini dirinya berhadapan dengan sosok yang lebih pendek darinya, membawa kedua telapak tangannya menyentuh pipi Hanan, lalu dituntunnya untuk menatap wajahnya.

Asha tersenyum lembut. Lantas mencium kening Hanan yang tertutup oleh poni tipis. Bertahan beberapa detik sebelum Ia menjauhkan wajahnya dan melihat reaksi menggemaskan yang diperhatikan Hanan kepada dirinya.

"Selamat malam, Manis," ucap Asha terdengar berbisik. Mengabaikan semburat merah muda tercetak di kedua pipi Hanan sekaligus debaran jantung yang berpacu tak beraturan.

Keesokan paginya, Hanan rupanya bangun terlebih dahulu. Ia menatap sosok yang masih terpejam damai di kursi panjang tak jauh dari tempat tidur. Ingatan semalam saat Asha mencium keningnya kembali berputar dalam benak, membuatnya tanpa sadar tengah tersipu.

Hanan beranjak turun dari kasur. Menghampiri Asha berniat membangunkan gadis itu karena sudah pagi, dan mereka harus berangkat sekolah.

"Kak Asha, bangun, Kak."

Kelopak mata Asha bergerak-gerak kecil. Keningnya pun turut mengerut. Dia kemudian membuka kedua matanya, dan hal pertama yang dilihatnya adalah wajah bantal Hanan yang tengah tersenyum kepada dirinya.

"Selamat pagi, Kak Asha."

Asha tersenyum kecil. "Pagi, Hanan," balasnya sembari meregangkan badannya yang terasa pegal. Ia mendudukkan dirinya, masih merasa malas untuk bangun dan bersiap.

"Kak Asha kalau sarapan pagi buat sendiri apa beli di luar?"

"Biasanya buat sendiri, tapi kalau lagi males masak, beli di luar. Kenapa emangnya, kamu mau masakin aku?" tanya Asha main-main.

Hanan menggaruk tengkuknya. "H-Hanan gak bisa masak, Kak," ujarnya sedikit meringis. "Tapi Hanan bisa belajar kok, Hanan mau masakin kak Asha!" sambungnya bersemangat. Hal itu mengundang kekehan renyah Asha.

"Bagus kalau kamu mau nyoba, tapi sepertinya itu gak perlu," ucap Asha beranjak berdiri.

"Kenapa?"

Tok tok tok

Keduanya bersama-sama menoleh ke arah pintu. Asha tidak sempat menjawab pertanyaan Hanan tadi karena dia melangkah membukakan pintu. Begitu pintu dibuka, sosok yang semalam membuatnya bingung atas sikapnya, kini berdiri di hadapannya sembari menenteng rantang di tangan kanannya.

"Jeno ...."

CANTIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang