Asha menyandar pada pembatas rooftop sembari mengamati sekelilingnya. Sinar oranye dari matahari yang sebentar lagi terbenam itu masih mampu membuat Asha menyipitkan mata layaknya sinar matahari di siang hari.
Sekolah telah sepi, tetapi Asha masih belum ada niatan meninggalkan tempat. Ia nyaman dengan kesunyian di atap sekolahnya. Sedari tadi hanya terdengar kicau merdu dari burung-burung yang bertengger di dahan pepohonan sekitar. Menjadi alunan melodi yang begitu menenangkan disertai embusan angin yang terasa sejuk menerpa kulit.
Ia bahkan menolak ajakan pulang bareng dari Jeno. Pikirannya berkecamuk, Asha tidak ingin berujung emosi lalu melampiaskannya kepada orang lain.
"Ngapain lo di sini?"
Sebuah suara nenginterupsi Asha. Lantas iapun berbalik badan guna melihat gerangan yang membuatnya nyaris jantungan. Orang itu adalah Vano. Salah satu teman Jeno yang kerapkali merundungnya.
"Bisu lo?"
Asha menggeleng singkat. "Pengen aja," balasnya kembali menghadap ke depan. Sedikit menyayangkan takdir, mengapa Vano musti ke rooftop. Sungguh, Ia sedang ingin bersendiri saat ini, terlebih meladeni Vano jika kembali berulah mengganggu dirinya.
Asha hanya diam menunggu kemungkinan Vano merusuh. Namun, hingga beberapa menit ditunggu, Asha tak merasakan sesuatu menimpa dirinya atau suara tajam nan pedas yang biasa Vano olokkan sebagai bahan gunjingan untuk menyakiti perasaan Asha. Lantas Ia menoleh ke belakang, di mana Vano ternyata duduk anteng pada kursi usang yang berjarak semeter dari tempatnya kini berdiri.
Keduanya tak bersuara. Hening pun melanda di antara mereka. Asha benar-benar merasa asing oleh perasaan ini. Vano—pemuda berandalan banyak omong itu ternyata bisa diam juga? Asha terkekeh kecil memikirkannya, sehingga tanpa disadari hal itu mengundang antensi Vano di sebelahnya.
"Lo udah gila ketawa-ketiwi gitu?"
Sontak Asha menghentikan kekehannya. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Maaf, cuma terpikir sesuatu yang menggemaskan."
Vano menatap sinis gadis itu. Diapun beranjak, melangkah mendekat ke sisi Asha hingga hanya beberapa centimeter mereka bersanding. Fokusnya hanya ke depan, sembari memejamkan mata menikmati semilir angin berembus. Begitu kedua matanya terbuka, pupil berwarna hitam itu melirik ke samping, tepatnya pada sosok Asha.
Ia menyelami paras yang dimiliki gadis itu. Tak sadar bahwa empu yang ditatap kini balik menatapnya dengan sebelah alis terangkat.
"Ada apa?"
"E-Eh ... nggak ada!" Vano melengoskan muka. Tubuhnya menegang ketika Asha tiba-tiba menyentuh telinga bawahnya. "Ng-Ngapain lo?"
"Telinga kamu merah. Kamu nggak apa-apa?"
Vano menggeram rendah. Sial, dia merasa malu sekarang. Lantas Iapun menggeleng sekencang-kencangnya.
"Udara makin dingin, bikin kulit kamu jadi merah begini. Kamu nggak mau pulang aja?"
"Nanti. Lo sendiri juga ngapain di sini?"
"Pengen aja," balas Asha seperti tadi. Membuat Vano berdecih tak suka.
"Gue ke sini karena sebelumnya lihat lo dari parkiran. Gue kira lo mau bundir, makanya gue langsung ke sini. Nggak usah ge'er dulu lo, gue cuma mau mastiin doang kalau lo nggak bener-bener mau lompat."
Asha tertawa geli mendengar alasan Vano, yang benar saja dia sudi merepotkan dirinya sendiri hanya untuk naik ke rooftop, itupun guna memastikan dirinya tidak berbuat hal nekat, sulit dipercaya.
"Lo ... beneran ... berhubungan sama ... Jeno?"
"Kenapa emangnya?"
"Nggak, cuma nanya doang!"
Asha menghela napasnya panjang. Sorot matanya menatap lurus ke depan dengan tenang. "Aku nggak tau kenapa tiba-tiba kamu jadi beda begini, Vano, tapi aku berharap banget ini bukan salah satu akal-akalan kamu buat menjatuhkan aku juga. Aku bukan bermaksud nuduh kamu, tapi untuk sekarang, tolong jangan dulu, aku capek," ujarnya lirih menyimpan banyak beban. Ia menghadapkan badannya pada Vano yang memandangnya dengan ekspresi sulit diartikan.
"Kamu nggak perlu bersikeras buat nyingkirin aku, karena aku tau diri ke mana aku harus pergi. Sebaiknya kamu bergegas pulang, udah mau malam soalnya, aku juga mau pulang ini. Hati-hati di jalan, sampai ketemu besok."
Kepergian Asha dari rooftop menyisakan Vano dengan perasaannya yang membuncah tak karuan. Ia memandang sendu pada punggung lebar Asha yang telah lenyap dari balik pintu yang telah tertutup.
Ia juga tidak tahu, mengapa dengan dirinya.
....
Asha menuruni anak tangga dengan gerakan lambat. Sengaja. Ia berjalan di sepanjang koridor sekolah yang sudah sepi. Begitu hendak keluar dari aula sekolahan, sebuah tangan memegang kuat pergelangan tangan Asha, lantas membawanya ke sebuah kamar mandi.
"Kenapa kamu narik aku ke sini, Jeno?"
Jeno mendecak kesal oleh pertanyaan yang mengatakan seolah-olah Asha tidak menyadari kesalahannya sendiri. "Sejak kemarin lo ngehindar dari gue, gue nggak suka diabaikan! Gue chat sampe nyepam juga nggak lo bales, dilihat juga enggak. Gue telepon sempet berdering, tapi nggak diangkat!"
"Aku sibuk kerja. Buat buka hp rasanya males, jadinya semua pesan yang kamu kirim belum sempet aku lihat. Aku juga nggak menghindar dari kamu."
Jeno tanpa sadar memanyunkan bibirnya. "Gue nggak terima alesan lo, sekali abai tetep abis, dan gue nggak suka. Pokoknya gue mau nginep entar malem di kosan lo," ucapnya memutuskan dengan mutlak.
Mendengar hal itu, Asha hanya mampu mengangguk menyetujui. Tangan kanannya terangkat mencubit pelan pipi tirus Jeno. Empunya semakin memanyunkan bibir, bahkan ekspresi yang Jeno perlihatkan semakin menggemaskan di mata Asha.
"Yaudah, ayo kita pulang. Makin sore, takutnya gerbang dikunci sama satpam."
Asha hendak melangkah duluan. Namun, Jeno menahan pergelangan Asha dengan cepat. Asha membelalakkan mata, terkejut oleh aksi Jeno yang secara tiba-tiba mempertemukan bibir mereka. Hanya saling menempel, tanpa pagutan, tetapi memberikan sensasi panas dingin bagi Asha yang tidak pernah melakukan hal semacam ini.
Buru-buru Asha menjauhkan diri. Ia memandang Jeno yang menampilkan air muka seolah tak merasa bersalah sama sekali. "Kamu ngapain tadi?" tanyanya menuntut penjelasan. Asha merasa di depannya kini seperti bukan Jeno. Pemuda itu bertingkah aneh.
"Ayo kita pacaran!"
Lihat, benar, bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
CANTIK
Teen Fiction"Tidak ada alasan apapun, hanya kamu yang menjadi alasanku untuk tetap singgah." --- [g×b stories, jangan salpak] Jn: ⬇ Sh: ⬇ Ys: ⬇ © Pin, Edited by Lillavias