Chapter 12

1.8K 205 37
                                    

...


"Jeno." Asha mencekal pergelangan Jeno begitu empunya nama melintas tepat di sampingnya. Gadis itu semula menyandar pada tembok gang yang berada dekat dengan kediaman kepala sekolahnya, Sudarma. Dia menghentikan langkah Jeno yang akan masuk ke dalam. Pemuda itu seharian ini tak terlihat, bahkan masih mengenakan seragam sekolah lengkap dengan tas yang berada di punggungnya.

Ke mana Jeno pergi tanpa berkabar sama sekali?

Asha meminggirkan Jeno sampai mereka kini berhadapan dengan jarak yang begitu dekat. "Ke mana kamu seharian ini? Aku chat nggak dibales, aku telepon juga nggak diangkat. Ngapain kamu sebenarnya?"

Jeno mendatarkan ekspresi ditanyai seperti itu. "Bukan urusan lo," jawabnya terkesan tak santai. Ia hendak pergi, tetapi Asha kembali menarik lengannya cukup kuat. Gadis itu langsung memojokkan Jeno diantara dinding dan juga badannya.

"Anjing lo!" umpat pemuda itu. Dia berusaha keras melepaskan diri dari kurungan Asha yang membuatnya tidak bisa ke mana-mana.

"Seharusnya aku yang marah, Jeno! Kamu tau apa yang udah kamu perbuat, hah?"

"Gue tau gue salah. Oke, gue ngaku, dari awal gue emang punya kesepakatan sama temen-temen gue buat deketin lo, terserah lo kalau mau marah, terserah lo mau gimanain gue, tersera—"

"Bukan itu yang aku maksud, Jeno!" sela Asha memburu. "Kalau kamu punya masalah sama aku, lampiasin ke aku, jangan ke orang lain. Dari awal, Jeno, dari awal aku berusaha sabar sama sikap kamu yang selalu semena-mena, tapi kali ini kamu udah keterlaluan. Seharian menghilang nggak ada kabar, itu karena kamu habis mukulin Hanan, 'kan?!"

Jeno mengerutkan keningnya. "Maksud lo apa ngomong begitu?!"

"Berhenti berbelit-belit, Jeno! Aku mau kamu jujur, kamu yang mukulin Hanan, 'kan?"

Jeno menatap tepat kedua mata tajam yang memandangnya dengan kekecewaan. Jakunnya naik-turun seiring pupilnya berusaha bergerak ke kanan dan kiri guna mencari setitik kepercayaan di mata Asha terhadap dirinya.

"Lo percaya?" tanyanya alih-alih menjawab Asha.

Gadis itu terdiam masih dengan sorot berpusat memandang Jeno. Merasa tidak ada jawaban, Jeno pun mendorong mundur tubuh Asha, menciptakan jarak lebar diantara mereka. Pemuda bertahi lalat di bawah matanya itu lalu mengangkat kedua tangannya yang terkepal. Menunjukkan bagian tulang metakarpalnya di hadapan Asha.

Jemari ramping seputih salju itu menarik perhatian Asha. Dirinya sempat tak mengerti, tapi ingatannya kembali berputar saat Jeno menolongnya dari aksi pemalakan para remaja berandalan beberapa waktu yang lalu. Lantas hal itu langsung meruntuhkan egonya seketika.

Tak ada bekas kemerahan akibat pemukulan. Itu artinya bukan Jeno yang menghajar Hanan hingga babak belur. Dilihat dari kondisi Hanan, tidak mungkin Jeno yang melakukannya. Kulit Jeno mudah meninggalkan jejak, di mana bila terkena hantaman keras bisa meninggalkan kemerahan atau memar yang akan hilang dalam waktu beberapa minggu setelahnya.

Asha mengeraskan rahang menyadari hal itu. Ia benar-benar lupa. Pandangannya kemudian turun menatap aspal. Batin Asha tengah berdebat dengan benaknya, merutuki perilaku buruknya lantaran telah menuduh Jeno.

"Dia bilang sama lo kalau gue yang mukulin dia? Oke, besok gue pukulin beneran tuh anak."

"Kamu nggak boleh ngelakuin itu, Jeno!"

"Kenapa lo peduli? Lo lebih milih dia?"

Untuk kesekian kalinya Asha dibungkamkan oleh Jeno. Asha juga tidak tahu mengapa Ia sebegitunya membela Hanan.

"Lo nggak bisa bedain yang bener-bener tulus sama yang salah. Lo langsung nganggep setiap orang yang deketin lo semata-mata dia peduli, dan mirisnya lo malah langsung nganggep dia baik tanpa tau apa tujuan dan latar belakangnya ngedeketin lo. Salah satunya gue, Sha. Gue orang yang pertama kali deketin lo dan perlakuan pertama lo yang bikin gue bisa semakin masuk ke dalam kehidupan lo tanpa perlu bersusah-susah bujukin apalagi sampai ngemis-ngemis."

"Semakin lo ngebiarin gue berbuat sesukanya, gue jadi semakin tau semuanya tentang lo. Dan semakin gue bersama lo, semakin runtuh pula ego gue saat tau lo itu bener-bener bodoh, Sha. Lo gampang dimanfaatin." Jeno mengeluarkan apa yang dirasakannya saat ini dari dalam hatinya. Sementara di depannya, Asha menatap kosong aspal di bawah sembari mendengarkan segala perkataan yang dilontarkan oleh Jeno.

Apakah seperti itu pandangan orang-orang ketika melihat dirinya? Benaknya terus berputar-putar memikirkan hal semacam ini. Apa yang salah? Apa yang salah dengan perilakunya?

"Tidurin gue, Sha."

Perkataan terakhir Jeno sukses membuat Asha langsung menatap Jeno dengan pandangan serius. Ia melihat Jeno yang menatapnya dengan pandangan meremehkan.

"Lihat, 'kan ... lo langsung tergugah," ucap Jeno berkomentar, terselip nada mengejek. "Lo sama sekali nggak punya pendirian." Jeno melegang pergi meninggalkan Asha yang masih dalam keterdiaman memikirkan semua yang dikatakan oleh pemuda itu.

....

"Kak Asha? Kakak ngapain di sini?"

Pertanyaan berasal dari pemuda mungil yang menghampirinya itu membuat Asha langsung membuang napas. Asha menggeleng, berusaha menampilkan senyuman untuk pemuda yang kini memilih mendudukkan diri di sampingnya.

"Nggak ada, Ryo. Kamu sendiri habis dari mana? Ini udah malem. Besok sekolah, 'kan?"

Ryo mengangguk lucu. Dia tersenyum sambil mengusap-usap lengannya yang tak tertutup apa-apa. Ryo hanya mengenakan kaos oblong kebesaran, panjang baju lengannya pun hanya sampai siku. "Ryo sebenernya dikunciin pintu sama Papa, hehe," ujar Ryo diakhiri cengiran lucu.

"Kok bisa? Kamu ngapain bisa sampai dikunciin pintu sama Papa?"

Ryo mencebikkan bibirnya. "Ryo udah izin sama Moma kalau Ryo telat pulangnya karena harus kumpul ekskul dulu buat bahas event lusa besok, tapi Moma lupa nggak bilang sama Papa, jadinya gitu deh, pas Ryo pulang, Papa marahin Ryo terus kunciin Ryo pintu, katanya, "nggak usah pulang sekalian, main aja terus sampe nggak inget rumah." Ryo kesel banget sama Moma, iiiih!"

Asha terkekeh gemas dengan cerita lucu bocah SMP itu. Perasaan tidak enak yang sempat menyelimutinya, kini lenyap hanya dengan kehadiran Ryo bersama cerita absurd yang membuat moodnya kembali.

"Ayo kakak anterin ke rumah, biar kakak yang jelasin ke Papa."

"Nggak ah, Ryo mau ikut kak Asha aja."

"Heh, nggak boleh. Nanti digerebek warga gimana kalo kakak bawa kamu ke rumah?"

Remaja SMP itu memanyunkan bibir. "Bilang aja kalo Ryo adiknya kak Asha, kan beres."

"Bukan gitu, Ryo. Kakak hari ini lagi nggak mau diganggu aja. Mau istirahat biar besok bisa semangat. Ayo, udah jam sepuluh ini, nanti Papa makin ngambek, urusannya makin panjang. Bukan diusir lagi mungkin, tapi kamu dicoret dari KK."

"Iiiih ... Kak Asha jangan nakutin dong! Yaudah ayo!"

Dengan terpaksa, Ryo berdiri. Bocah SMP itu memilih untuk berjalan duluan. Asha pun terkekeh untuk yang kedua kalinya, lantas menyusul Ryo dengan langkah lebarnya.

Asha tak menyadari kalau sedari tadi interaksinya dengan Ryo tengah diperhatikan oleh seseorang dari kejauhan. Seseorang yang masih bertengger di atas motor Ninjanya, dengan helm full face berwarna hitam dengan sedikit garis kemerahan. Tatapannya tampak datar, tapi terlihat menusuk tajam.

CANTIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang