Chapter 7 : Kehidupan Baru

18 3 7
                                    

"Permisi, kami ke sini atas arahan dari Yamu."

"Ya, aku sudah dengar. Duduklah," jawab pria tua di hadapan mereka.

"Maaf mengganggu," jawab Amu lalu duduk di samping Aruo.

"Kudengar kalian merupakan saudara yang lari dari pengejaran, ya. Apakah itu benar?"

"Ya ... itu benar," jawab Aruo sedikit enggan.

"Baiklah kalau begitu," memberikan setumpuk kertas, "ini dokumen yang berisi informasi tentang sekolah, surat tanah dan biodata baru tentang kalian. Semoga bisa membantu," ucap pria tua itu tersenyum.

"T— terima kasih banyak," ucap Aruo menerima dokumen-dokumen itu. Tangannya sedikit bergetar.

"Tidak kusangka Nona Yamu membantu kita hingga sebanyak ini," bisik Amu kepada Aruo.

"Ya ... aku sungguh menyesal telah bersikap buruk kepadanya," ucap Aruo lirih menundukkan kepalanya.

Mendengar percakapan mereka berdua, pria tua itu tertawa sambil tersenyum. "Tenang saja. Dia bukan wanita yang mudah tersinggung, kok," ucapnya mencoba untuk meredakan kesedihan Aruo.

"Tetap saja ...."

***

Aruo dan Amu pergi ke apartemen yang sudah disewakan selama 1 tahun. Kamar mereka berada di lantai 3 paling kanan.

"Tempatnya sangat indah, ya ...," Amu terpesona dengan pemandangan di balkon.

"Ya, aku benar-benar menyesal ...," ucap Aruo bersedih.

Menoleh, "kakak masih memikirkan itu?"

"Bagaimana tidak," ucap Aruo memandang lurus.

"Benar juga, ya," jawab Amu menutup matanya. "Yah, karena Nona Amu sudah membantu kita, kita harus menerima dan menikmatinya, bukan?"

"Ah ... iya."

"Hm? Ada apa?" tanya Amu mengintip sebelah mata.

"Rasanya kamu menjadi bersikap sedikit lebih dewasa," ucap Aruo tidak menyembunyikan keterkejutannya.

"Hm, kamu mungkin benar," jawab Amu menatap langit sore.

Sebenarnya, ingatan lama Amu samar-samar kembali. Dia sepertinya sudah mengenal Nona Yamu sejak lama. Bahkan dia juga mengetahui siapa dalang dibalik hancurnya rumah mereka.

Selain itu, Amu semakin yakin ketika melihat gaya bertarung Nona Yamu saat menghabisi puluhan lawannya dalam sekali terjang.

Menaruh tangan di dagu, "itu artinya ... Nona Yamu sudah berusia lebih dari seratus tahun?" gumam Amu.

"Hm? Apa Amu bilang?" tanya Aruo.

"Ah, tidak. Lupakan saja," pinta Amu.

"Begitu?"

Masuk ke dalam, "lebih baik kita beristirahat. Besok adalah hari sekolah," menutup pintu balkon.

"Hei, tunggu!" Aruo berlari pelan ke arah pintu dan membukanya, terlihat Amu yang memainkan kunci di tangannya seolah mengatakan, "tenang saja, aku tidak menguncinya."

Entah kenapa, sikap Amu sedikit berbeda dari biasanya. Dia tidak pernah sejahil ini. Itu membuat Aruo merasa agak khawatir.

Amu sedikit memalingkan wajahnya dengan pipi memerah, "yah, karena akhirnya aku bisa bersekolah, aku ingin menikmatinya besok bersama kakak."

Mendengar ucapan Amu, Aruo menghembuskan nafas lega. "Amu pemalu dan manja yang kukenal masih berada di sini, fiuh ...."

Amu yang sedang menyiapkan kasur mendengar sesuatu dan bertanya, "apa tadi kakak mengatakan sesuatu?"

"Tidak ada, ayo kita tidur."

"Um."

Aruo menyusul Amu ke tempat tidur. Memeluk Amu, mereka berdua pergi ke alam mimpi.

***

Pagi yang indah. Aruo dibangunkan oleh Amu yang sudah menyiapkan sarapan pagi.

"Pagi, kakak," sapa Amu sambil mengelus kepala Aruo.

"Amu ... apa yang kamu lakukan?" Aruo yang terbangun mengusap matanya.

"Tidak ada," melirik dari samping dan menaruh jari di bawah bibir, "hanya sedikit jahil kepadamu."

Mendengar perkataan Amu dan ekpresi yang dibuatnya, membuat wajah Aruo memerah. "Apa yang terjadi kepadamu, Amu?!"

"Ah!" Amu seperti tersadar. "Eh! Ini ...?!"

Pandangan Amu kacau ke segala arah, tangannya digerakkan tidak karuan karena merasa panik. "Aku tidak tahu apa yang baru saja terjadi!"

Aruo tersadar dan segera mengelus kepala Amu. "Sudah, tidak apa. tenanglah ...."

"Kakak ...," Amu terlelap di dalam dekapan Aruo.

Kring ...! Kring ...!

"Sudah saatnya, ya?"

"Eh?"

"Eh?"

Mereka memandang satu sama lain. Keduanya langsung membuang wajah yang mulai memerah.

"Percakapan tadi ... tolong lupakan," ucap Aruo memakai rompi putihnya menghadap ke kiri.

"Umu," Amu memperbaiki dasinya dan menghadap ke kanan.

Mereka berdua bingung tentang apa yang sebenarnya terjadi. Apakah ada suatu energi yang menyelinap masuk tanpa sepengetahuan mereka?

***

Sementara Aruo dan Amu sedang bersiap untuk pergi ke sekolah, di kamar sebelah terlihat seorang perempuan yang sedang memainkan jarinya.

"Serena, apa yang kamu lakukan?"

"Tidak ada," jawab gadis itu.

Pria yang bertanya tadi memegang dahi lalu menggeleng-gelengkan kepala. "Kamu mengganggu anak baru lagi, ya?"

"Tidak."

"Jawablah dengan jujur," ucap pria itu marah.

"Hah ... iya, iya," ucap Serena mengiyakan.

"Sudah kubilang jangan mengganggu anak baru, 'kan?"

"Tapi, Slash ...."

"Tidak ada tapi-tapi!"

Serena tersenyum licik, "mereka sedikit unik."

Mendengar perkataan Serena, Slash merasa tertarik. "Apa maksudmu?"

"Salah satu dari mereka manusia, tetapi yang satunya lagi ...."

***

Amu sedang duduk di kursi taman kemarin. Karena jam sekolah adalah jam sembilan, mereka masih memiliki waktu beberapa puluh menit lagi. Jadi, dia sedang menunggu Aruo yang bilang ingin pergi membeli sesuatu.

"Tada!"

"Kak, ini 'kan ...."

"Yap," memberikan kue keju, "ini dari toko roti yang kita lihat kemarin."

"Tapi, dari mana kamu mendapatkan uang ini?"

"Di antara tumpukan kertas kemarin ada check senilai satu juta. Nona Yamu memberikan catatan bahwa uang itu boleh dipakai sesuka hati kita."

"Kalau begitu, bukankah lebih baik untuk membeli kebutuhan sehari-hari?"

Mendengar perkataan Amu, Aruo memandangi langit dan tersenyum. "Ya, itu memang benar. Namun ... kebahagiaan adalah hal terpenting dalam hidup. Jika tidak bahagia, untuk apa kita hidup, 'kan?"

Menoleh ke arah Amu, "Itu, lho. Ingat kata Yuna waktu itu?"

Berusaha mengingatnya, Amu tanpa sadar meneteskan air mata. "Kira-kira bagaimana keadaan mereka, ya?"

"Aku yakin," menepuk bahu Amu, "mereka baik-baik saja."

Amu tersenyum. Dia memasuki dekapan Aruo. Aruo mengelus kepala Amu dan mengusap punggungnya agar merasa tenang.

Mereka merindukan kampung halamannya, tetapi saat ini keselamatan adalah prioritas utama. Jika mereka kembali, itu hanya akan mengancam nyawa orang-orang tersayang.

Arzure [END]Where stories live. Discover now