30. Menikmati Desa (2)

18.8K 1.4K 119
                                    

Hari ini ibu Jagat berencana untuk mengadakan syukuran, katanya karena sebentar lagi putranya akan mengakhiri status dudanya. Tentu saja hanya dalam skala kecil. Makanan yang akan dimasak hanya ayam ingkung, nasi gurih, dan gudangan saja yang kemudian akan dibagikan ke tetangga. Makanya sekarang ibu, Shanum dan tentu saja si cilik Ayang sedang berbelanja di pasar di dekat kampung. Mereka diantar Jagat dengan mobil dan laki-laki itu menunggu di warung kopi milik salah satu temannya.

Para penjual di pasar ini terlihat sudah sangat akrab dengan ibu. Dan kata ibu memang kebanyakan dari mereka berasal dari kampung-kampung sebelah. Di daerah sini memang masyarakatnya bisa dibilang saling mengenal satu sama lain, meski beda kampung sekalipun. Tak heran ketika melewati kios-kios pedagang ibu selalu disapa. Bahkan beberapa pembeli di pasar juga ada yang menyapanya.

"Yang tadi itu temen ibu, Nduk, pas jaman iseh cilik. Dia dulu dari kampung kita, tapi nikah sama orang kampung sebelah."

"Di sini walau beda kampung masih saling kenal ya, Bu."

"Ya gitu nek tinggal di daerah yang bukan kota."

Mereka lanjut berjalan menuju los pedagang daging ayam karena hanya itu saja yang belum dibeli. Belanjaan-belanjaan lainnya dititipkan di kios dekat pintu masuk pasar tadi. 

"Yu, pithik jowone ono ora?" tanya ibu pada salah satu pedagang daging ayam yang berada di ujung los pedagang. - (Yu, ayam jawanya ada tidak?)

"Ono, Mbokde. Ajeng ngersakke pinten?" - (Ada, Mbokde. Mau beli berapa?)

"Telu wae, sek utuh yo." - (Tiga saja, yang utuh ya)

"Ajeng damel ingkung nopo?" - (Mau bikin ingkung apa?)

"Iyo. Nggo ngacarani anakku sek mbarep, arep rabi insyaallah. Lha iki calon mantuku," jawab ibu sambil mengenalkan Shanum yang sedang memegangi tangan Ayang. - (Iya. Buat acara anak sulungku, akan menikah insyaallah. Nah ini calon mantuku.)

Shanum mengangguk dan tersenyum, "Saya Shanum, Bu."

"Celok wae Budhe Tin, iseh sedulur adoh ibumu iki." kata Budhe Tin membalas sapaan Shanum dengan hangat. "Ayune, Mbokde. Wes cedhak kalih putune jenengan barang niku. Sip tenan." - (Panggil saja Budhe Tin, masih saudara jauh ibumu ini. Cantiknya, Mbokde. Sudah dekat dengan cucumu juga itu. Sip sekali.

Sambil mengobrol Budhe Tin dengan cekatan menimbang ayam kampung yang dibeli ibu. Shanum hanya menyimak saja karena dia juga tidak paham apa yang dibicarakan. Sepertinya setelah ini dia harus les bahasa Jawa pada calon suaminya. Kalau tidak, bisa-bisa setiap pulang kampung dia hanya bakal melongo saja setiap diajak bicara.

"Alhamdulillah. Piro Yu kabehe?" - (Berapa Yu semuanya?)

"Sak pithik 75 ribu, Mbok Dhe, nembe munggah sedanten niki regane. Totale dados 225 ribu." - (Satu ayam 75 ribu, Mbok Dhe, sedang naik semua ini harganya. Totalnya jadi 225 ribu.)

Setelah menyerahkan uang pembayaran, mereka langsung menuju ke kios tempat menitipkan barang belanjaan yang sebelumnya sudah dibeli. Sepanjang jalan, Ayang terlihat sangat penasaran dengan suasana pasar tradisional. Dia memang belum pernah sebelumnya ke pasar tradisional ketika di Jakarta. Shanum memang lebih sering berbelanja di supermarket karena lebih praktis. Lagi pula pasar tradisional terdekat dari rumahnya cukup jauh jaraknya. Dengan kemacetan Jakarta saat ini, bisa butuh waktu satu hingga dua jam untuk sampai di pasar tradisional tersebut.

Mata Ayang tampak melebar ketika melihat penjual balon karakter dan mainan-mainan anak. Sambil menarik-narik tangan Shanum, Ayang menunjuk ke arah penjual itu. "Mama liat, ada yang jual balon lucu."

BersamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang