33. Tak Terduga (2)

20.8K 1.3K 51
                                        


Hari terakhir sebelum pulang ke Jakarta, Jagat mengajak keluarga kecilnya untuk jalan-jalan di daerah malioboro dan beberapa tempat bermain anak di daerah sekitarnya. Selain jalan-jalan, rencananya mereka juga akan membeli beberapa oleh-oleh. Meskipun sebenarnya, kemarin mereka telah membeli banyak oleh-oleh dan mengirimkannya ke Jakarta melalui jasa ekspedisi.

Mereka tidak akan jalan-jalan dengan mengendarai mobil, namun menggunakan motor matic milik ayah Jagat yang memang sedang tidak dipakai. Mengetahui hal ini tentu saja Ayang sangat bersemangat. Selama di Jogja, Ayang selalu diajak berkeliling kampung oleh Akungnya menggunakan motor. Sungguh pengalaman yang mengasyikkan bagi bocah kecil Jakarta yang tidak pernah naik motor di sana.

"Ayaaahhh... Kapan kita belangkat naik motolna?" hal yang pertama ditanyakan oleh Ayang setelah bangun tidur.

Ayahnya, Jagat, yang sedang meminum kopi sambil mengobrol dengan kedua orang tua dan adiknya langsung menengok ke arah bocah cilik yang baru keluar dari kamar dan berada di gendongan Shanum itu.

"Ya nanti to, Nak. Mandi sama sarapan dulu ya," jawab Jagat.

"Ayang mauna cekalaannggg..."

"Ayang ndak usah ikut aja, ditinggal di rumah sama Bulik Paklik. Biar Ayah sama Bunda jalan-jalan berdua. Ayang masih bau asem tuh belum mandi," goda Ranan pda keponakannya.

"Ndaaakkkk!!! Ayang ndan mau ditinggal!!" Muka Ayang langsung memerah menahan tangis. Tak lama kemudian tangisnya benar-benar memenuhi seisi rumah. Membuat suasana pagi itu ramai luar biasa.

Ibu Jagat langsung menyentil putri bungsunya karena membuat cucunya menangis. "Kowe ki, senengane gawe ponakane nangis to, Nduk. Kuwi delok, bocahe nangis kejer." - (Kamu itu, sukanya kok bikin keponakannya nangis sih, Nduk. Itu lihat, bocahnya nangis kejer.)

Ranan hanya meringis pada ibunya, sambil meminta maaf pada ponakannya. Tetapi bocah itu tidak mau didekati oleh buliknya dan memilih menyembunyikan wajahnya di leher mamanya.

Jagat sepertinya sudah terbiasa melihat kelakuan adik dan anak perempuannya itu. Dia  mengamati sambil sesekali menyeruput kopinya. "Ojo gawe tetangis terus to, Dek. Sek repot ngko dadi mamane kuwi lho. Ra bakal gelem dijak sopo-sopo tekan nangise mandek." tegur Jagat. - (Jangan buat nangis terus, Dek. Yang repot nanti jadi mamanya itu lho. Nggak bakal mau diajak siapa-siapa sampai nangisnya berhenti itu.)

Shanum menenangkan Ayang yang masih sesenggukan dalam gendongannya. "Bulik cuma bercanda, sayang. Pasti Ayang diajak dong nanti sama Ayah. Tapi perginya nanti setelah mandi sama sarapan. Masa anak mama mau jalan-jalan masih bau asem belum mandi. Ayang harus mandi dulu ya, biar cantik, biar wangi. Habis itu sarapan, berangkat deh."

Ayang mengangkat kepalanya. "Benelan Ayang ndak ditinggal kan Mama?"

"Iya dong. Masa anak Mama nggak diajak sih. Rugi doong."

Akhirnya Ayang tersenyum, kemudian dia langsung memasang wajah galak ke buliknya. "Ayang diajak pelgi jalan-jalan, Bulik ndak, weeekkk." ledeknya sambil menjulurkan lidahnya.

"Halah, motore yo ra cukup nek bulik melu, mbul, gembul." - (Halah, motornya juga nggak cukup kalau bulik ikut, mbul, gembul.)

***

Setelah memandikan Ayang, Shanum mendandani si bocah kecil. Ayang dengan antengnya duduk ketika Shanum menyisiri rambutnya.

"Mamaaa, ntal Ayang mau pakai baju camaan cama mama ya. Lambut Ayang mau juga kiting-kiting kayak puna mamaa.."

"Iya..iya. Sekarang Ayang ganti baju dulu ya."

Setelah memakaikan sweater biru muda dan legging abu-abu, Shanum mengoleskan baby cream serta menyemprotkan parfum bayi pada Ayang. Tak lupa pula disampirkannya tas selempang kecil di bahu Ayang. Sekarang anaknya itu sudah cantik, dan wangi, siap untuk diajak jalan-jalan.

BersamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang