Prolog

11K 173 2
                                    

Annchi Kamaria. Entah mau sampai kapan ia berdiri di depan pintu yang tidak tertutup rapat itu. Sudah lewat 20 menit, perempuan berambut panjang kecoklatan itu tak melakukan pergerakan apapun. Sorot matanya nampak kosong. Ditatap sebuah pintu kayu jati di hadapannya itu tanpa ekspresi. Beberapa kali saat indera pendengarannya menangkap sayup-sayup suara yang berasal dari dalam sana, saliva nya tertelan dengan rasa yang menyakitkan. Nafasnya kini agak memburu, tak lagi tenang seperti beberapa saat yang lalu. Tangannya mengepal erat, pelampiasannya untuk tidak meluapkan emosinya saat itu juga. Masih belum terpikirkan olehnya, ia harus masuk, atau berbalik dan meninggalkan rumah itu.

"Udah lah. Keputusan terakhir ini. Aku udah nggak kuat. Biarin aja Annchi di ambil sama Pak Andra. Biar kita nggak ada beban pikiran lagi buat bayar hutang."

Lagi, tenggorokannya menelan saliva dengan susah payah. Annchi merasakan kedua matanya memanas. Dia marah, tapi daripada membuang tenaga di tempat ini, Annchi lebih memilih untuk berbalik dan pergi dari rumah yang dulu pernah menjadi tempat berteduhnya. Kaki-kaki rampingnya menyusuri trotoar yang cukup sepi. Tangannya sibuk mengotak-atik ponselnya untuk memesan ojek online. Di hari yang sudah gelap, Annchi membela-belakan waktunya yang bisa digunakan untuk istirahat guna menuruti panggilan orang tuanya. Annchi pikir ada hal penting yang ingin dibicarakan. Ternyata memang benar. Lebih tepatnya, hal itu penting untuk orang tuanya saja. Selepas kuliah, Annchi tak langsung ke tempat kost nya. Ia memilih untuk menemui orang tuanya terlebih dahulu agar mereka tidak terus-terusan menganggu waktu kuliahnya. Tapi ternyata sia-sia saja. Tanpa harus menemui mereka, Annchi sudah tau tujuan utama orang tuanya memanggilnya.

Annchi menghela nafas. Bagaimana bisa mereka berpikir untuk menjualnya, demi melunasi sebuah hutang? Annchi tak tau pasti berapa hutang yang orang tuanya miliki. Tapi yang pasti, keputusan orang tuanya itu benar-benar tidak bisa diterima. Terlebih lagi Annchi sama sekali tidak pernah makan dari uang hasil hutang itu. Kenapa sekarang dia yang harus menjadi korbannya? Pak Andra katanya. Annchi tau siapa Andra yang Ayahnya maksud. Andra Giadarma namanya. Yang Annchi tau, Pak Andra umurnya sudah menginjak kepala empat. Dan kebenarannya lagi, Pak Andra sudah mempunyai dua istri.

Sinting betul. Apa orang tuanya berniat menjualnya agar dijadikan istri ketiga? Gila sekali, pikir Annchi.

Saat angin menerpa wajahnya yang tidak tertutup oleh kaca helm, disitulah Annchi mulai menangis. Suara isakannya tertelan oleh hembus angin disepanjang perjalanan ia pulang ke tempat kost nya. Annchi sakit hati sekali. Kenapa ia terus-terusan dijadikan korban atas apa yang dilakukan orang tuanya. Dulu, tak mudah bagi Annchi untuk angkat kaki dari neraka itu. Tapi setelah Annchi berhasil keluar dari rumah, mereka justru makin-makin bertingkah dan membebankan semua resikonya pada Annchi. Annchi sudah muak berurusan dengan orang tuanya. Persetan dengan pernyataan, mau seburuk apapun, itu tetap orang tuamu. Annchi mungkin tak akan segan meludahi orang yang berkata seperti itu. Tidak tau saja mereka jika belum benar-benar merasakannya sendiri.

Selama 18 tahun lamanya, Annchi selalu makan hati tinggal di rumah itu. Dibelenggu, tapi selalu mendapat perlakuan yang kurang manusiawi. Apa setiap orang tua selalu perhitungan pada anaknya, termasuk biaya hidup yang harusnya sudah menjadi kewajiban orang tua? Jika diingat kembali, Annchi mulai menghasilkan uang sendiri dari awal ia menginjak bangku SMA. Itu karena orang tuanya selalu mengungkit biaya hidup yang semakin tinggi, sehingga mau tak mau Annchi mencari pekerjaan yang bisa dilakukan oleh seorang pelajar. Itu bertahan hingga saat ini. Selama bekerja menjadi freelancer dan memastikan penghasilannya cukup untuk biaya hidupnya, Annchi kemudian memutuskan untuk hidup sendiri seraya melanjutkan pendidikannya. Hingga sekarang, Annchi sama sekali tidak pernah meminta bantuan lagi pada orang tuanya, termasuk perihal finansial.

***

"Ini anak kemana sih? Mama udah telepon Annchi belum?!"

"Udah. Katanya dia mau kesini kok."

"Mana? Udah jam segini. Bohong terus anakmu itu, kebiasaan. Udah capek aku, bayarin hutang tapi nggak lunas lunas. Punya anak sudah di atur. Aduh, mau pecah kepalaku."

Keributan di ruang tamu itu berhenti sesaat ketika Langit berjalan melewati dua orang paru baya itu. Tanpa mengatakan sepatah katapun, Langit berjalan menaiki tangga.

"Ini lagi. Darimana kamu? Jam segini baru pulang!" Langit lihat sebentar ke arah Ayahnya yang masih meninggikan suara.

"Apa sih? Kan udah bilang tadi mau kerkom. Berisik." Langit masuk ke dalam kamarnya, dan mengunci diri di sana. Ia abai akan celotehan sang Ayah yang masih berlanjut di bawah.

Sudah menjadi makanan sehari-hari Langit, mengingat dirinya satu-satunya yang masih tinggal dengan orang tuanya. Ditanya betah atau nggak, sudah pasti Langit akan menjawab tidak. Kakak tertuanya sudah menikah, dan kakak keduanya, Annchi, juga angkat kaki dari rumah. Kini hanya Langit yang tersisa.

Kadang Langit berpikir, tidak heran kedua kakaknya tidak betah ada di rumah. Kedua kakak perempuannya itu selalu mendapat perlakuan yang tidak adil. Dibanding Langit yang masih disayang-sayang oleh sang Ibu, kedua kakak perempuannya adalah orang yang terasa diasingkan. Kedua orang tua mereka selalu mengeluh membesarkan kedua putrinya yang banyak kebutuhan. Apalagi Annchi, yang kini masih mengenyam pendidikan dan belum mendapatkan tambatan hati. Meskipun Langit tau kakak keduanya itu tidak akan merepotkan orang tua mereka, tapi keduanya merasa seolah-olah sangat dirugikan. Keduanya ingin cepat-cepat Annchi menikah agar ada yang menjamin hidupnya dan hidup orang tuanya. Bagi mereka, anak itu adalah investasi masa tua. Makanya pikiran dua paruh baya yang masih kolot itu hanyalah uang dan uang saat anak-anak mereka sudah bekerja dan menikah.

"Duh, berisik banget sih. Nggak tau udah malem apa?!" Langit menggerutu. Ia dengan segera menyumpal kedua telinganya menggunakan airpods guna meredam kebisingan yang terjadi. Pamuda berumur 19 tahun itu juga tampak menyibukkan diri dengan bertukar pesan dengan seseorang. Itu Annchi. Karena seingat Langit, kakaknya hari ini hendak pulang ke rumah. Tapi yang Langit dengar beberapa saat lalu, Annchi belum juga menampakkan diri. Itu sebabnya emosi sang Ayah kian memuncak. Lagipula orang tuanya itu aneh. Sudah tau anaknya kuliah di universitas yang jauh dari rumah. Tapi masih saja seenaknya.

Setelah beberapa saat Langit berkirim pesan dengan Annchi, balasan terakhir kakaknya itu sukses membuatnya mengernyitkan dahinya.

Udah dateng. Males. Udah denger juga. Mau dijual gue wkwkwk

Begitu katanya. Gila. Benar-benar orang tuanya itu sudah tidak waras.

"Anjing!" Langit mengubah posisinya menjadi duduk. Kedua tangannya dengan kasar mengusap wajah frustrasinya. Dengan nafas yang memburu, semua orang pun tau kini Langit tengah menahan diri agar tidak meledakkan amarahnya. "Kok bisa sih mikirnya sampe kesitu. Astaga."

Langit benar-benar tak habis pikir. Dijual katanya. Padahal Langit saksinya, uang hasil berhutang itu untuk foya-foya. Tapi tiba-tiba ia mendapat kabar bahwa kakaknya yang akan menjadi jaminan agar hutang itu lunas, benar-benar sudah tidak punya otak. Kurang ajar. Sumpah serapah tak henti terlontar dalam hati Langit. Menyumpahi orang yang entah masih pantas atau tidak dipanggil Ayah dan Ibu itu. Berkali-kali Langit membatin, pantas kedua kakaknya meninggalkan mereka. Kedua kakaknya itu, layak mendapatkan hidup yang lebih baik. Jika mereka tetap tinggal di rumah yang sudah tak pantas disebut rumah itu, akan sehancur apa mereka?

***

Unforgiven (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang