Bab 47 - Sebuah Kesempatan

648 42 4
                                    

Selama hidupnya, Annchi memang tak sekali dua kali merasa dirugikan oleh tingkah kedua orang tuanya. Sudah enggan memaklumi, karena tingkah keduanya itu memang bisa membuat iblis pun minder. Hanya saja, entah mengapa kali ini orang tuanya itu benar-benar nekat dan merugikan banyak orang. Bahkan Annchi sudah bingung harus bagaimana lagi. Karena saat ini, ia hanya bisa memijit pelipisnya yang berdenyut usai mendengar keluh kesah Lula— kakaknya yang saat ini masih berada dalam panggilan dengannya.

"Maunya apa sih, ya Tuhan." Annchi menghela nafasnya lelah. Ia mengesampingkan laptopnya yang menyala guna mengistirahatkan pikirannya yang berantakan.

"Stress gue, Chi! Gue lagi hamil, dan baru kemarin disuruh bed rest sama dokter gue. Ini malah kedatangan orang yang harusnya gue hindarin seumur hidup!"

"Aduh. Usir aja sih! Demi apapun gue juga udah males ngurusin hal tentang mereka tuh!"

Annchi geram. Bagaimana tidak? Karena terlalu putus asa mencari keberadaan Annchi, kedua orang tuanya justru menemui Lula untuk meluapkan amarah ke si sulung. Lula yang tau apa-apa pun sudah pasti mengamuk. Tak membiarkan Cakra dan Nina memasuki rumahnya, barang satu langkah. Bukan apa-apa. Masalahnya, Lula saat ini sedang hamil anak pertama. Lula sudah pasti akan betul-betul menjaga kandungannya, dan menjauhi hal-hal yang bisa membuatnya stress serta berdampak buruk pada calon anaknya. Tapi sekarang, ia justru dihadapkan dengan orang tuanya yang selalu memancing emosi jiwa.

"Ada masalah apa lagi sih di sana?!" Lula kembali bertanya dengan suara yang masih sarat akan emosi.

"Biasalah."

"Yang masalah sama Pak Andra itu?"

Annchi menghela nafasnya. "Iya." terangnya malas. "Gue pindah dari kost lama, dan mereka nyari-nyari gue. Sky juga ikutan minggat karena udah males. Nggak expect kalau tiba-tiba mereka ke Surabaya nyamper elu."

"Ah kalian tuh. Jadi gue yang kena batunya juga."

"Emang kita di sini nggak capek ngadepin odgj?!"

"Parah lu! Nyokap Bokap lu itu."

"Skip, ah."

Annchi mendengar Lula menghela nafas. Calon ibu itu menggerutu pada suaminya yang tampaknya mendengar semua obrolan mereka berdua. Bahkan Lula tak segan mengatai bahwa orang tua mereka yang durhaka karena tak bisa memanusiakan anak-anak mereka, dan selalu membebankan permasalahan yang mereka buat pada ketiganya. Padahal Lula ingat betul, orang yang harusnya tak pantas disebut orang tua itu, tidak pernah becus mengurus dirinya dan kedua adiknya itu. Mereka bertiga selalu menjadi samsak atas kekesalan kedua orang tua mereka. Kegagalan, dan segala hal yang membuat mereka merasa dirugikan atas kehadiran ketiga anak yang seharusnya menjadi sebuah anugrah. Betul kata orang-orang di luar sana. Bahwa tak semua orang itu, siap dan pantas untuk menjadi orang tua.

"Udahlah Chi, nggak mau urusan gue! Coba lu turutin tuh maunya orang tua elu satu aja, habis itu terserah lu maunya gimana!"

"Ya kalau di suruh kawin sama Andra, ogah banget gue!"

"Ya intinya jangan itu. Lu juga punya hak atas diri lu. Jangan mau diatur-atur! Cari cara buat batalin pernikahannya. Tapi buat sekarang, please lah Chi, tolongin gue. Gue nggak sanggup!"

"Duh! Sibuk gue, lagi nugas! Lagian gue udah capek-capek sembunyi malah— halo? Eh, Alula!"

Annchi menatap ponselnya dengan jengkel. Kakaknya memutus telepon secara sepihak tanpa menunggu ia selesai berbicara terlebih dahulu. Sembari menggerutu, Annchi meletakkan ponselnya tepat di sampingnya. Ia menggosok wajahnya menggunakan kedua tangannya, seraya menggeram frustrasi.

Unforgiven (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang