Bab 59 - Tidak Perlu Khawatir

224 23 4
                                    

Terhitung sudah hampir satu pekan lamanya, Annchi dan Michael tak saling bertegur sapa. Banyak yang mulai menyadari hubungan mereka sedang merenggang, termasuk Langit yang sebenarnya tidak mau ikut campur urusan mereka. Toh, dari awal dia sudah memperingati keduanya, Annchi lebih seringnya. Tapi jika tidak ada yang mau mendengar, Langit harus bagaimana lagi?

Langit tanpa sengaja bertemu dengan Michael di sebuah minimarket ketika dirinya hendak membeli minuman dengan Stefan. Lelaki itu sendiri, duduk di kursi yang berada di teras minimarket sembari menghisap rokoknya. Dari raut wajahnya, lelaki itu tampak frustrasi. Tarik tatapan Langit yang sangat mudah dipahami oleh Stefan yang ikut menggelengkan kepalanya.

"Stress banget kayaknya. Gue sama sekali belum ngobrol sama dia." Stefan menghela nafas. Wajar ia berpikir begitu. Karena selama ia mengenal Michael, tidak pernah ia melihat Michael sedepresi itu.

"Gue juga males nyari tahu. Urusan mereka." Tukas Langit cuek. Ia mengambil langkah terlebih dahulu untuk keluar dari mobil, dan berjalan menghampiri Michael.

Michael refleks mengalihkan pandangannya ketika mendapati Langit datang ke tempat yang sama dengannya. Memadamkan rokoknya di detik itu juga dan hendak berdiri. Namun Langit menyuruhnya untuk tetap duduk. Disusul ia menduduki kursi yang kosong.

Tak lama setelahnya Stefan menyusul. Tetapi lelaki itu memilih masuk ke dalam minimarket, untuk melakukan tujuan utamanya datang ke tempat itu.

"Tumben nggak sama Kenneth? Ke mana dia?" Tanya Langit tanpa membawa intonasi yang terdengar mengintimidasi.

Michael mengendikkan bahu, dan menyesap minumannya. "Nggak tahu, Sky. Lo sama Stefan, habis dari mana?"

"Habis kerkom. Banyak tugas gue akhir-akhir ini. Jadi jarang ikutan kalian nongkrong." Langit melirik eksistensi Michael yang hanya bungkam. "Annchi juga sering ngeluh ke gue kalau dia kesepian banget. Tapi guenya nggak bisa nemenin gara-gara sibuk. Memangnya, lo—"

"Sky, nih." Kedatangan Stefan menginterupsi obrolan kedua orang itu. Refleks memotong ucapan Langit yang kemudian menaruh atensinya kepada Stefan. "Nggak ada yang biru, njir. Jadi gue ambilin yang merah muda pororonya." Sambung lelaki itu seraya memberikan minuman milik Langit yang baru saja ia beli.

Namun alih-alih menerima, Langit justru mendecak. "Kok jadi pororo sih? Mogu-mogu, Fan!"

"Mogu-mogu mana ada yang biru, kocak?!"

"Ya udah yang mana aja, yang penting mogu-mogu. Gue mana suka yang pororo? Gula, Man."

"Dipikir mogu-mogu bukan gula?!" Stefan menggerutu, meski pada akhirnya kembali masuk untuk membeli minuman yang Langit inginkan.

Seperginya Stefan, pandangan Langit kembali ke arah Michael yang hanya menyimak perdebatan mereka. Ia meletakkan minuman dari Stefan ke atas meja, lantas menyandar untuk bersidekap.

"Lo akhir-akhir ini nggak ke tempatnya Annchi apa gimana? Biasanya ogah balik." Singgung Langit meski lawan bicaranya memasang wajah tanpa ekspresi. "Lagi ada masalah, ya?" Lanjut Langit dengan nada meledek. Batinnya, pasti mereka menyesal karena sudah mengabaikan peringatannya.

"Lo tahu dari anak-anak ya, Sky?"

Langit mengendikkan bahu. "Kebaca banget sih kalau kalian lagi nggak akur. Tapi gue males mau ikut campur juga."

"Gue khawatir lo jauhin gue, Sky. Makanya gue keep ini sendiri."

Langit sontak menahan tawanya. Bersamaan dengan itu, Stefan kembali dan ikut duduk di dekat mereka usai menggeser salah satu kursi yang kosong.

"Kita bukan anak kecil lagi, Mike. Urusan kalian, ya urusan kalian. Gue males ikut-ikutan." Ujarnya. Omong kosong itu, menggelitik perutnya. Memangnya sejak kapan Langit peduli, setelah mereka terang-terangan ketahuan di depan matanya? "Nggak usah khawatir gue musuhin elo cuma gara-gara lo ada masalah sama Kakak gue. Nggak ada hubungannya sama gue."

Unforgiven (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang