Lukanya Mama

24 2 0
                                    

Aku bangun dari tidurku seorang diri. Perlahan aku turun dari ranjang rumah sakit, ku dorong tiang infus keluar kamar. Begitu aku sampai di depan pintu tak ku dapati pula sosok Jidan.


"Mau kemana Ra?" tegur Papanya Jidan

"Nyari Jidan Pa, Papa ngapain pagi pagi ke rumah sakit?" tanyaku penasaran


"Jengukin mantu Papalah. Jidan di warung depan ngabisin rokoknya. Mau Papa panggilin?"

"Boleh Pa, terimakasih Pa"



Tak lama Papa dan Jidan datang ke kamarku. Papa meletakkan tas belanjanya di meja.

"Ra, Papa minta kamu jaga baik - baik cucu Papa. Ini semua buat kamu"

Aku dan Jidan tercengang saat melihat isinya.


"Papa pikir aku nggak bisa beliin ini buat Rara?" serang Jidan


"Jangan ribut, jangan buat aku marah" bisikku pada Jidan



"Yaudah Papa pamit kerja dulu ya. Nanti kalau senggang Papa kemari lagi" pamit Papa



Kepalaku pusing melihat Jidan dan Papanya setiap bertemu selalu berdebat. Aku tahu Jidan kecewa dengan Papanya namun apa harus sampai meninggalkan tata Krama dan sopan santunnya?





"Ngapain manggil aku? Kangen?" tanya Jidan yang sudah merebahkan tubuhnya di atas sofa



"Nggak! Aku nggak ada rasa kangen sama kamu. Aku mau minta tolong bantuin aku mandi. Aku gerah"



Mendengar penuturan ku Jidan langsung bangkit dari tidurnya dan berjalan ke arahku.


Ku ambil bungkus rokok yang ada di saku kemejanya.



"Kamu habis berapa batang?" tanyaku setelah membuka bungkus rokok miliknya


"Nggak banyak, cuma empat"


"Empat?! Itu ban---"


"Aku butuh penengang Ra. Kamu mau aku mabok lagi?" Jidan merebut bungkus rokok dari tanganku dan memasukkan ke saku celananya.




Selang infus ku dimatikan dan diambilnya dari tiang.


"Udah ayo mandi"


Jidan mengikuti ku masuk ke kamar mandi.


"Kamu tunggu diluar aja! Jangan ikut masuk! Tugas kamu pegangin botol infus aku" dumelku


"Ra, kita udah jadi suami istri ngapain malu sih"


"Masalahnya aku nggak ada perasaan sama kamu"


Jidan langsung keluar dan menutup pintu kamar mandi. Raut wajah Jidan seketika berubah. Apa aku salah? Bukannya Jidan juga tidak mencintaiku? Dari awal pernikahan kami, Jidan tidak menginginkanku. Bahkan ia tidak menganggap ku ada.

Bahkan di malam pertama kami, Jidan berusaha membunuhku. Ia tahu aku tidak bisa mencium bau rokok namun ia dengan sengaja merokok di dalam kamarnya. Aku tidak diijinkan keluar dari kamar dan tidak diperbolehkan membuka jendela.


Sudah bisa dibayangkan Jidan yang merokok aku yang hampir mati.

Setelah kejadian ia pulang dalam keadaan mabuk, ia sudah mengurangi rokoknya. Sehari paling banyak dua batang. Bahkan pernah sehari ia tidak menyentuh rokok. Namun kenapa hari ini ia menjadi candu lagi?


Belum sarapan, belum mandi tapi sudah merokok sampai empat batang?


"Setelah ini kamu mandi" pintaku sembari mengambil botol infus di tangan Jidan



Secret WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang