Jidan membawaku ke ruang NICU dengan kursi roda. Padahal aku sudah bisa berjalan, tapi entah mengapa ia sangat kekeh untuk membawa kursi roda.
"Aku malu jadi pusat perhatian orang" keluhku
Infus di tanganku sudah dilepas. Aku sudah bisa mandi, menyisir rambut, dan memakai baju sendiri.
"Karena kamu cantik banget makanya jadi pusat perhatian"
Blom! Aku dibuat salah tingkah olehnya.
"Jidan stop!" pintaku
Jidan menghentikan langkahnya. Ia menundukkan kepalanya sejajar di sampingku lalu bertanya
"Kenapa yang?"
"Orangtua kita ngapain disana?" tanyaku sambil menunjuk ke arah mereka
Akhirnya kami putar balik. Kami penasaran dengan apa yang mereka bahas sampai Papaku dipegangi oleh Mama.
Luka jahitan di perutku saja masih basah bisa bisanya mereka memintaku pisah dengan Jidan.
"Ra jangan Ra!" Jidan menahan tanganku ketika aku beranjak dari kursi roda
"Kenapa jangan? Kamu nggak ingin mempertahankan rumah tangga kita? Kamu nggak ingin hidup bersamaku?"
"Nggak gitu Ra, ini rumah sakit. Jangan ribut disini, jangan memperkeruh keadaan"
"Terus kamu maunya gimana? Kita ikuti kata orangtuaku? Yaudah kalau itu mau kamu. Anak kita ikut aku karena aku ibunya! Dia masih butuh aku!" tekanku
Aku pergi meninggalkan Jidan yang masih terpaku. Tak berselang lama aku menyusuri lorong untuk kembali ke kamar, Jidan membuntutiku sambil mendorong kursi roda.
"Pelan pelan jalannya Ra! Luka kamu masih basah Ra! Kita bicarakan baik - baik kan bisa. Kenapa kamu baper gini sih!" dumel Jidan
Baper??? Aku baperan????
Sesampainya di kamar aku langsung meneguk segelas air, perutku terasa sakit. Namun rasa sakitnya tidak sebanding dengan apa yang kurasakan selama ini.
"Duduk dulu Ra biar berkurang sakitnya" titah Jidan
Ku lihat wajah Jidan, rasa kesal itu makin mengerucut.
"Aku benci banget sama kamu! Kamu dan papamu udah rusak masa depan yang udah ku rangkai dengan baik! Selama menikah kamu nggak pernah peduli bahkan memikirkan aku. Kamu nggak pernah anggap aku bahkan secara terang terangan di depan mataku kamu kontak fisik bahkan sangat mesra dengan Dinda. Aku sakit kamu nggak tahu. Aku nangis kamu nggak peduli. Aku hamil kamu masa bodoh. Semua aku tanggung sendiri. Bahkan bullying di kampus aku sendiri yang hadapi. Kamu nggak pernah bela aku, kamu nggak peduli gimana mental aku saat itu yang dibilang pelajur, jalang, ayam kampus. Aku hamil pun kamu meragukan aku. Dan sekarang akibat perbuatan kamu dan papamu anakku lahir prematur hanya karena ulah satu perempuan yang sama. AKU CAPEK!"
Tak ada air mata yang keluar dari kedua sudut mataku. Hanya ada emosi yang ingin ku luapkan.
Jidan hanya bisa terdiam sambil menatapku.
"Mamaku benar. Kamu nggak bisa bahagiakan aku. Kamu nggak bisa bertanggung jawab sebagai suami. Dan mungkin kamu nggak bisa bertanggung jawab sebagai ayah. Aku akan bilang ke Papa untuk segera urus perceraian kita. Nggak ada yang bisa aku harapkan dari kamu" sambungku
Pintu kamar tiba - tiba terbuka, Papaku melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar. Kehadiran Papa mengakhiri perdebatan kami.
"Ra, Papa boleh ngobrol empat mata sama kamu?" tanya Papa
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Wedding
Short Story"Gue minta sama lo jangan sampai anak - anak di kampus tahu kalau kita udah nikah! Jadi, gue mau kita rahasiakan ini untuk selama - lamanya" "Kenapa harus selama - lamanya?" "Gue suami lo jadi lo harus nurut apa kata gue! Lo paham bukan tugas dan ke...