37. PTSD

826 82 5
                                    

⋆꒷꒦‧₊˚𓆩♡𓆪˚₊‧꒦꒷⋆

Selama satu minggu Nala menjalani Ujian Sekolah di rumah, ia diawasi oleh seorang guru baru yang ditugaskan oleh sekolah langsung. Tak ada kesulitan selama Nala menjalankan Ujian Sekolah, ia dapat mengerjakan soal-soalnya dengan baik.

Hari ini mama menemani Nala untuk pergi ke rumah sakit. Mama sudah membuat janji dengan seorang psikiater di sana. Ini kali pertama mama mengunjungi poli kesehatan jiwa yang ada di rumah sakit tempat dimana Niskala berobat. Tentu akan menjadi pengalaman baru mengunjungi tempat ini.

Nala duduk sambil menunggu namanya dipanggil untuk masuk ke ruangan psikiater. Mama terus memegangi tangannya. Di sini bukan Nala yang gugup, tapi Mama. Nala lalu tersenyum kepada Mama.

"Mama, aku gak akan kenapa-kenapa kok." Katanya.

Mama lalu mengangguk, mengiyakan sambil mengacak rambut Nala.

Setelah itu namanya pun dipanggil. Ia ditemani oleh Mama, masuk ke dalam ruangan itu. Saat masuk, suasanya tiba-tiba tegang, keringat mengucur di kening Nala.

"Silahkan duduk." Ucap seorang psikiater wanita, usia pertengahan tiga puluh.

"Nala Chandra Laksmana, betul?" Tanya psikiater itu.

Nala mengangguk kecil. Ia terus menunduk, tidak berani bertatap mata dengan psikiater itu.

Mama yang berbicara saat ini, ia menjelaskan apa-apa saja yang terjadi pada Nala. Mulai dari perundungan, gangguan tidur, self harm, bahkan percobaan bunuh diri.

"Nala, apa yang kamu alami semenjak mereka melakukan perundungan itu?" Tanya psikiater itu dengan intonasi yang lembut.

Nala mengangkat kepalanya, mulai menatap psikiater itu dengan hati-hati.

"Mimpi buruk, gak bisa tidur lagi kalau sudah kebangun karena itu." Kata Nala pelan.

Psikiater itu mengangguk kecil. "Nala masih sering melukai diri sendiri gak?"

Nala menggeleng. Ia sudah tidak melakukannya. Ia jujur mengatakan hal ini. Kemarin ia hanya kesetanan melakukan percobaan bunuh diri.

Psikiater itu menuliskan sesuatu, seperti hasil diagnosis untuk Nala. Ia lalu memberikan hasil itu pada Mama.

"Nala mengalami Post-Traumatic Stress Disorder, atau stres pasca trauma. Hal ini sering ditemukan pada seseorang yang mengalami kejadian traumatis, seperti kekerasan, pelecehan, peperangan, dan kejadian traumatis lain. Dalam kasus Nala, ia memiliki trauma karena kekerasan dalam perundungan. Nala tidak harus dirawat inap, hanya saja harus minum obat dan menjalani psikoterapi untuk mengobati traumanya." Jelas psikiater itu kepada Mama dan Nala.

Nala melirik Mamanya. Ia tidak tahu apa itu, ia masih tidak mengerti. Atau mungkin tidak ingin mengerti. Setelah menemui psikiater, Nala dan Mama lalu menebus obat yang sudah diresepkan. Setelah itu mereka pun pulang ke rumah.

"Nala ... "

Nala menoleh sebelum menaiki anak tangga. "Aku mau sendiri dulu, Mama."

Mama menatap punggung Nala yang menaiki anak tangga, lalu hilang dikelokan menuju kamarnya. Mama dapat mendengar suara pintu yang ditutup dengan kasar. Mama lalu duduk di sofa, memijat-mijat keningnya yang pusing sekali. Belum usai memikirkan anaknya yang akan kemoterapi, sekarang anaknya yang lain juga harus menjalani terapi.

"Mama."

Mama lalu menoleh saat dipanggil. Rupanya Naren. Anak itu masih menggunakan kolor dan kaos coklat, belum rapih seperti biasanya.

Sebuah PosisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang