20. Membiru

1.5K 153 17
                                    

⋆꒷꒦‧₊˚𓆩♡𓆪˚₊‧꒦꒷⋆

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


⋆꒷꒦‧₊˚𓆩♡𓆪˚₊‧꒦꒷⋆

Langit sangat gelap sore ini. Gemuruh petir yang bersahutan melengkapi pekatnya langit. Tetesan air hujan yang besar dan sakit menyapa permukaan kulit, membuatnya terasa perih. Hujan sore ini sangat deras, beberapa jalanan tergenang banjir. Kendaraan terjebak tidak bisa melaju karenanya. Volume air di sungai sore ini pun naik, arusnya kencang begitu seram.

Pengguna kendaraan bermotor berteduh di warung-warung pinggir jalan, toko, atau tempat-tempat yang membuat mereka tidak kehujanan. Saking derasnya, banyak pemotor yang sudah menggunakan jas hujan memilih untuk menepi, karena takut terbawa arus di jalanan yang banjir. Meskipun banjirnya tidak begitu tinggi, tapi arusnya lumayan kuat. Belum lagi pepohonan yang rawan roboh membuat mereka ketakutan untuk melanjutkan perjalanan.

Di komplek itu ia berjalan seorang diri. Komplek itu sepi, tidak ada yang mau keluar rumah di saat hujan deras seperti ini. Mereka memilih untuk berlindung di rumah, menarik selimut, lalu tidur dengan hangat. Udara dingin pun tak kalah menyapa semua orang yang berada di luar ruangan. Termasuk Niskala yang sekarang masih berjalan menuju rumahnya.

Niskala sudah melepas earphonenya. Ia tidak ingin menangis lagi hanya karena sebait lirik lagu. Ia basah kuyup. Ia tidak peduli dengan tubuhnya yang kedinginan, pun dengan buku-bukunya yang sekarang sudah pasti kebasahan. Namun sesekali, air matanya masih menetes. Air mata yang samar akan air hujan, yang membuatnya tidak terlihat seperti sedang menangis. Air mata itu jatuh bersama dengan air hujan yang mengguyur tubuh Niskala.

Niskala melihat rumah di depannya. Ia sudah sampai di rumahnya. Rumah dengan sebuah pohon cemara yang tidak terlalu tinggi, dengan sebuah taman sederhana berukuran 4×3 meter di bawahnya, yang ditanami rumput jepang dan beberapa tanaman lainnya. Niskala lalu menyebrang jalan, ia membuka gerbang rumahnya, lalu masuk ke sana.

"Assalamualaikum."

Niskala menjinjing sepatunya yang basah, ia berniat untuk menggantungnya di halaman belakang. Besok ia akan menggunakan sepatu yang lain. Ia lalu segera mengambil gantungan ke tempat cuci baju, lalu menggantungkan sepatunya yang basah ke tempat jemuran yang beratap.

"Waalaikumsalam." Sahut Mamanya dari arah kamar.

Derit pintu terdengar saat Mamanya membuka pintu kamar. Mamanya terlihat khawatir saat melihatnya yang sedang sakit itu basah kuyup oleh hujan. Mama mendekatinya, mengusap pipinya yang basah.

"Mama sudah minta Papa buat jemput kamu. Kenapa malah basah-basahan begini?"

Niskala menunduk. Ia tidak bisa lagi tersenyum saat dirinya lagi-lagi membuat Mamanya khawatir.

"Maaf, Ma." Ucapnya singkat.

"Kamu bersih-bersih dulu, pakai baju yang hangat, abis itu makan dan minum obat, setelahnya Mama mau bicara sama kamu." Kata Mamanya pelan.

Sebuah PosisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang