21. Khawatir

1.6K 139 16
                                    

⋆꒷꒦‧₊˚𓆩♡𓆪˚₊‧꒦꒷⋆

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


⋆꒷꒦‧₊˚𓆩♡𓆪˚₊‧꒦꒷⋆

Malam menjelang. Pintu kamar itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan terbuka. Si penghuni kamar sedang bersembunyi di balik selimutnya, tidak berniat sama sekali untuk memutar kunci yang menggantung di pintu kamarnya. Sekarang ia sedang tidur, energinya habis karena terus menangis sejak siang. Wajahnya pucat, ditambah kedua matanya yang sekarang sembab dengan sisa-sisa air mata yang mengering disekitarnya. Hari ini adalah hari buruknya, dan ia butuh waktu untuk membuka kembali pintu kamarnya.

Di ruang tengah, Mama dan Papa sedang duduk di sofa. Televisi yang sedang menayangkan berita terkini seakan sedang menonton kedua orangtua itu. Televisi itu tidak ditonton, hanya dinyalakan untuk membuat suasana rumah ini lebih hidup. Mama dan Papa sebenarnya sedang menunggu anak sulung mereka, yang sekarang dalam perjalanan pulang ke rumah.

Sore tadi, Nala, anak bungsu di keluarga ini, menelpon abang tertuanya untuk pulang. Nala mengatakan kepada abangnya untuk menunda acara menginap di kost sahabatnya, Arkan. Nala mengatakan ada hal yang lebih penting daripada sekedar menginap. Jujur saja, Nala merasa di kondisi seperti ini, abang tertuanya itu sangat dibutuhkan. Maka dari itu ia bergegas menelponnya.

Yang ditunggu akhirnya keluar dari mobil, membuka pagar rumah yang tidak terkunci. Ia lalu memasukkan mobilnya ke halaman rumah yang tidak terlalu besar, hanya cukup untuk satu buah mobil dan motor. Jika saja rumah ini tidak memiliki garasi, mungkin mobilnya akan teronggok di pinggir jalan. Ia lalu mematikan mesin mobil, keluar dari sana. Ia juga tak lupa mengunci pagar, lalu masuk ke rumah.

Narendra lalu duduk di sofa, berkumpul dengan kedua orangtuanya. Ia lalu menaruh tasnya di lantai, menyandarkannya pada sofa. Ia memandangi kedua orangtuanya yang sekarang sedang berusaha terlihat baik-baik saja.

"Ada apa, Ma, Pa?"

Papa menghela napasnya pelan. "Ada yang mau Papa sama Mama bicarakan sama kamu, Ren."

"Tentang apa?"

"Adikmu, Ren."

"Niskala ya, Pa?"

Papa mengangguk kecil. "Hasilnya gak bagus, Ren, sama sekali gak bagus." Papa memberi amplop rumah sakit yang di dalamnya adalah hasil diagnosis Niskala.

Narendra membuka amplop itu, mengeluarkan kertas dari sana. Narendra melihat kertas itu perlahan, membacanya penuh ketelitian. Setelah menemukan apa yang ia cari, ia lalu memejamkan kedua matanya sejenak. Kertas itu ia masukkan lagi ke dalam amplop, lalu ditaruhnya di atas meja.

"Terus gimana, Pa?"

Papa menggeleng. "Papa belum tahu kedepannya gimana, tapi dokter menyarankan untuk kemoterapi. Itu pun kalau Niskala gak nolak. Kamu tahu sendiri adikmu itu kayak apa."

Narendra terdiam. Tidak mudah untuk membujuk adiknya, ia sangat tahu itu. Ia lalu memijat pelipisnya, entah kenapa seketika kepalanya pening.

"Sekarang dia belum keluar dari kamar, belum makan, belum minum obat. Pintu kamarnya dikunci." Mama ikut andil pembicaraan. Wajahnya terlihat sangat khawatir.

Sebuah PosisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang