38. Harinya Ayara

643 71 4
                                    

⋆꒷꒦‧₊˚𓆩♡𓆪˚₊‧꒦꒷⋆

Terik matahari tak pernah absen untuk menghiasi hari-hari di bulan suci. Setiap hari langit cerah tanpa awan. Sesekali awan tipis menghiasi langit, muncul dengan malu-malu. Cerahnya langit hari ini tidak membuat suasana hatinya ikut cerah. Malah suasana hatinya bak hujan di awal Desember. Niskala mengaduh pelan, saat kakinya tak sengaja berbenturan dengan meja belajarnya. Ia kurang fokus beberapa hari kebelakang. Terus memikirkan esok hari. Bukan soal kemoterapi—ia bahkan tidak takut—tapi soal ulang tahun pacarnya, Ayara.

Niskala menuruni anak tangga dengan helaan napas yang terdengar putus asa. Rambutnya diacak-acak. Pusing sendiri dengan pikirannya. Ia lalu duduk di sofa, menyalakan televisi, dan memilih untuk menonton Chibi Maruko-chan. Ia tidak selalu menonton natgeo seperti yang kalian tahu, sesekali ia juga menonton berita, Maruko, Doraemon, atau kartun lainnya. Celotehan Maruko yang nyeleneh tidak dapat membuatnya tertawa. Pikirannya masih dipenuhi dengan hari ulang tahun Ayara. Sungguh sial, ulang tahun pertama Ayara sebagai pacarnya tidak bisa ia rayakan.

Hari ini hari Minggu. Seluruh anggota keluarga ada di rumah. Papa yang saat itu melihat Niskala bengong langsung menghampirinya. Papa duduk di sebelah Niskala. Namun, sepertinya ia tidak menyadari kehadiran Papanya.

"Jangan bengong. Nanti kesambet!" Kata Papa pelan.

Niskala mengedipkan matanya beberapa kali. Menoleh ke arah Papanya. "Aku gak bengong. Ada yang lagi aku pikirin."

"Mikirin besok kah? Kamu takut ya?" Papa bertanya penasaran.

Niskala menggeleng. "Aku gak takut, Papa. Lagian aku bukan mikirin kemo. Papa tahu gak kalau besok Ayara ulang tahun?"

"Gak tahu, kamu gak pernah ngasih tahu juga. Terus kenapa kalau besok Ayara ulang tahun?" Tanya Papa. Orang tua ini tidak peka sekali dengan urusan anak muda.

Niskala menghela napasnya lagi. "Papa dulu waktu pacaran sama Mama emang gak pernah ngasih Mama kejutan pas ulang tahunnya?"

"Pernah. Setiap Mama ulang tahun Papa rayakan di warkop dekat rumahnya," kata Papa sambil tersenyum mengingat masa mudanya.

"Harusnya Papa peka, karena Papa juga pernah bucin. Aku mau rayakan ulang tahun Ayara tapi gak bisa, makanya aku kepikiran." Keluhnya.

Papa ber-oh saja menanggapinya. 

"Gampang lah, besok Ayara ikut saja ke rumah sakit." Papa memberi solusi.

Niskala menggeleng. "Jangan. Aku malu."

"Kok malu sih. Memangnya kamu kemonya gak pakai baju? Ngapain malu?" Papa menanggapi.

"Papa gak akan ngerti," kata Niskala pelan. Lalu kembali fokus menonton Maruko.

"Emang kamu gak kangen sama Ayara? Kamu sudah lama 'kan gak ketemu dia, bahkan kayaknya sudah jarang dihubungi juga." Mama yang mendengar percakapan suami dan anaknya lalu duduk di atas karpet. Ikut nimbrung.

Niskala menaikkan kedua kakinya ke atas sofa. Duduk bersila. "Sebenarnya aku kangen, tapi gak berani ketemu Ayara. Aku takut dipukul karena gak pernah hubungi dia." 

"Jadi laki-laki itu harus bisa bertanggungjawab. Kamu harus berani. Kamu juga harus minta maaf sama dia karena gak pernah menghubungi. Ayara pasti ngerti kok, dia itu tulus sama kamu." Mama memandangi Niskala sambil tersenyum meyakinkan. 

"Aku tetap gak mau Ayara datang ke rumah sakit besok. Aku mau telepon dia saja besok," katanya.

Mama dan Papa mengangguk paham. Lalu Niskala kembali ke kamarnya. Ia harus istirahat hari ini. Karena esok ia akan memulai perjalanan panjangnya.

Sebuah PosisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang