33. Emosi Abang

1.2K 119 7
                                    

⋆꒷꒦‧₊˚𓆩♡𓆪˚₊‧꒦꒷⋆

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⋆꒷꒦‧₊˚𓆩♡𓆪˚₊‧꒦꒷⋆

Dua hari sejak kejadian pagi itu, Niskala masih terbaring di atas ranjang pasien. Ia tidak memainkan handphone-nya, ia membiarkan pesan-pesan yang masuk terabaikan. Ia hanya menatap ke luar jendela, memandangi langit yang setiap detik berubah penampakannya. Niskala sedang memikirkan satu hal, ia memikirkan apakah ia akan lulus dari sekolah atau tidak. Ia bahkan tidak mengikuti ujian hari terakhir. Ia juga tidak tahu kapan ia harus keluar dari rumah sakit, lalu pergi ke sekolah untuk mengerjakan ujian susulan. Belum ada tanda-tanda bahwa ia diizinkan untuk pulang. Suntuk. Ia muak dengan semua ini.

"Abang."

Panggilan dari arah pintu mengalihkan perhatiannya dari langit biru di luar sana. Nala datang bersama papa. Mereka berdua masuk, lalu mendekat ke ranjang di mana Niskala berada.

"Abang, mikirin apa sih? Nala lihat abang bengong." Kata Nala. Ia lalu duduk di kursi yang terletak di sebelah ranjang pasien.

Niskala tidak menjawab. Ia tidak berminat menjawab pertanyaan dari adiknya.

Sedangkan papa yang berdiri di sebelah Nala, menyibak rambut Niskala ke atas, lalu mengelus kepalanya.

"Makanannya dihabisi gak tadi pagi?" Tanya papa pelan.

Niskala menggeleng kecil. Lagi-lagi ia tidak membiarkan mulutnya untuk mengeluarkan kata-kata.

Papa mengangguk sambil tersenyum, "Gapapa gak habis juga, yang penting kamu mau makan. Dari kemarin susah banget makannya, gimana mau cepat keluar dari sini?"

Niskala tersenyum kecil. Ia menyadari keegoisan dirinya.

Papa pergi mendekat ke arah mama yang sedang duduk di sofa. Sedangkan Nala masih duduk di kursi sebelah ranjang, sambil sesekali memainkan selimut abangnya.

"Abang ngomong dong, dari kemarin abang gak mau ngomong sama Nala." Kata Nala. Ia sedikit menundukkan kepalanya.

Niskala menghela napasnya. Ia sedikit memperbaiki posisi selang di hidungnya, lalu memperbaiki posisi duduknya.

"Abang gak akan lama kok di sini," lanjutnya.

Niskala melirik ke arah Nala. Ia lalu memandangi wajah adiknya yang terlihat sedih. Nala sedikit mengerutkan keningnya, dengan kedua mata yang sedikit berkaca-kaca, sangat terlihat bahwa ia sedang bersedih.

"Cil..."

Nala menekuk bibirnya. Ia meneteskan air matanya. Ia lalu menelungkupkan kepalanya ke atas tangan Niskala. Ia menangis kecil dengan tumpuan tangan Niskala.

"Ih kenapa nangis?" Tanya Niskala dengan suaranya yang sedikit serak.

"Mama papa, lihat si adek nangis." Kata Niskala memberi tahu kedua orang tuanya yang sedang mengobrol di sofa.

Sebuah PosisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang