23. Mengatakan Suatu Hal

985 123 18
                                    

⋆꒷꒦‧₊˚𓆩♡𓆪˚₊‧꒦꒷⋆

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⋆꒷꒦‧₊˚𓆩♡𓆪˚₊‧꒦꒷⋆

"Abang yakin hari ini mau sekolah?"

Nala muncul di depan pintu kamar Niskala secara tiba-tiba. Saat ini Niskala sedang memasang dasi di kerah seragamnya, lalu merapihkan kedua sisi kerah itu.

"Maksud gua tuh, memang lu sudah merasa baikan?" Nala melangkah masuk ke dalam kamar abangnya, ia lalu duduk di kursi belajar, menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.

Niskala menoleh sambil menghela napasnya. "Banyak tanya lu bocil, bosan gua dengarnya."

Niskala lalu mengambil tas punggungnya yang tergantung di tembok samping meja belajar, lalu ia memakai tas itu.

"Bedain deh yang banyak tanya sama yang khawatir, beda tipis memang, Bang." Nala mengikuti abangnya yang keluar kamar. Ia juga sudah siap dengan tas sekolahnya sedari tadi.

"Oh, jadi lu khawatir sama gua?" Niskala menuruni anak tangga, sambil menoleh ke arah Nala yang berjalan di belakangnya.

Nala mengangguk kecil.

"Iya." Jawabnya singkat

Niskala terkekeh. Lalu ia sampai duluan di lantai bawah, ia menunggu Nala yang selangkah lagi berada di lantai yang sama dengannya. Tanpa aba-aba, Niskala menjinjitkan kakinya sedikit, lalu ia mengecup kening adiknya.

"ANJIR GELI!" Nala berteriak saat kecupan itu mendarat di keningnya.

Niskala berlari kecil untuk sampai di meja makan. Ia tertawa mendengar suara Nala yang berteriak kepadanya. Ia sampai meneteskan air matanya, hal itu terlalu lucu untuknya. Karena Nala tidak pernah suka saat mama, papa, dan kedua abangnya menciumnya.

Nala berjalan penuh hentakan. Wajahnya terlihat memerah, seperti menahan emosi. Namun bukannya terlihat menyeramkan, Nala malah terlihat semakin lucu dengan kepolosan wajahnya.

"Ada apa sih, Dek, masih pagi sudah teriak-teriak kayak tadi?" Papa bertanya pada Nala. Sedangkan Niskala hanya menahan tawa saat melihat ekspresi adiknya saat ini.

"Tuh Papa lihat saja, siapa orang yang sekarang ketawa-ketawa sendiri di sini." Ucap Nala ketus. Ia lalu meminum segelas susu yang berada di hadapannya.

Papa menoleh ke arah Niskala yang sekarang sedang tertawa sampai meneteskan air mata.

"Kamu apakan, Niskala?" Tanya Papa pelan.

"Niskala cium, Pa. Habisnya dia banyak tanya, nyebelin, kalau gak digituin nyerocos terus kayak kereta api." Ucap Niskala sambil menyeka air matanya.

"Kamu lagi, malah dicium dianya, sudah tahu adiknya sensitif sama hal-hal begitu. Memang suka mancing-mancing orang kesal kamu tuh." Papa menggelengkan kepalanya, masih saja heran dengan kelakuan anak keduanya itu.

Niskala hanya tersenyum mendengar hal itu. Memang ia suka sekali memancing kesabaran orang lain, dan mungkin papanya adalah korban yang paling sering diuji kesabaran olehnya.

Sebuah PosisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang