🌠11| Terbukanya pintu semesta

39 18 2
                                    


Tebran mengunjungi tempat di mana abangnya di rawat di rumah sakit jiwa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tebran mengunjungi tempat di mana abangnya di rawat di rumah sakit jiwa. Tempat yang selalu menjadi pusat ternyaman saudaranya untuk menghabiskan waktu agar kembali pulih. Setahun sudah waktu berlalu, tidak begitu jauh dan dekat Tebran kembali pada ingatan kelam itu.

Kala Tellan, sang abang, menjadi teman curhatnya walau tak menjawab perkataannya sekali pun. Walau Tellan hanya terbaring di kasurnya ketika ia lelah. Tebran tak mempermasalahkannya. Baginya, bercerita pada sesuatu yang ada ketimbang lebih baik daripada ada, tapi tak mau mendengarkan dalam kondisi sadar.

Tebran berlega hati. Sebab sang papa masih mau membiayai kehidupan anaknya yang sedang dalam gangguan jiwa. Meski ada beberapa hal yang memang ditanggung oleh rumah sakit jiwa tersebut.

Tebran tak yakin bisa kembali dengan kondisinya yang sekarang. Ia masih belum ingin mengingat masa-masa kelam terdahulu.

Entahlah, sampai sekarang pun laki-laki itu tidak mengerti dengan jalan pikiran sang papa. Ada dua korban yang menanggung, tapi seperti tidak ada kepedulian dalam dirinya. Apakah orang seperti itu pantas disebut sebagai orang tua? Tebran merasa tidak nyaman dengan segala stigma yang ditanamkan oleh papanya.

Stigma, kalau sukses harus menjadi sempurna di segala bidang. Apapun itu. Harus selalu sempurna.

Bahkan bukan hanya stigma yang melekat dalam diri Tebran. Rasa kesal, amarah, dan bekas luka akibat pelampiasan emosi yang ditorehkan sang papa membuatnya kehilangan jati dirinya untuk beberapa saat.

Sebenarnya Tebran ini siapa?
Apakah Tebran harus menjadi sempurna?
Apakah Tebran berhak memperbaiki hidupnya?

Semua pertanyaan muncul secara acak ketika perasaan hampa menghampiri hatinya. Jiwanya meminta kepastian akan segala hal yang telah ia jalani selama setahun ini. Tebran merasa semuanya masih belum cukup. Apakah ini hasil perbuatan papanya dari penanaman stigma dalam dirinya?

Menyedihkan. Seolah semua kehidupan yang ingin dijalaninya hanya bisa diatur oleh sang papa. Sialan memang.

Tebran menarik kursi menjadi lebih dekat ke arah Tellan yang tengah berbaring, menatapnya.

"Bang, sorry, selama ini gue gak jengukin Lo. Gue mencoba memperbaiki hidup gue yang udah hancur gara-gara pemikiran papa," lontar Tebran dengan mata yang kendur.

"Gue selalu ingin menjalani kehidupan tanpa kekangan papa. Gue mau mencoba hidup tanpa harus sempurna. Karena hidup gue memang gak sempurna, iya, 'kan, Bang?" Tebran menatap sang abang yang hanya menatapnya tanpa mengucapkan sepatah kata.

Ada kemajuan dalam diri Tellan yang mengatakan kalau 40% sembuh dari penyakitnya.

Kadang-kadang Tebran memikirkan, bagaimana kalau ia juga mengalami kehancuran dan tak bisa menahan gejolak hampa itu. Menjadi depresi dan akhirnya dilarikan ke satu tempat bersama Tellan. Di rumah sakit jiwa ini.

Dua Bintang Bersinar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang