Tebran merasa sedikit bergejolak mengatakannya. "Kisah gue terlalu gelap dan itu nggak mudah buat gue ceritain."
"Kapanpun yang Lo mau. Gue selalu siap menerima perasaan Lo."
Tebran mengambil napas-mengambil ancang-ancang untuk bercerita tentang dirinya. Padahal menceritakan tentang perasaan, Tebran belum pernah kepada siapapun, termasuk Tisha. Namun anehnya bersama Kanaya, Tebran tidak merasa ragu. Ia hanya tak mau kalau Kanaya akan meninggalkannya seperti yang lain setelah mendengarkan kisah kelamnya.
"Gue bukan tipe orang yang mau mengalah, Nay. Gue sangat egois." Tebran mulai membuka celah ingatannya dan mengingatnya.
"Dari kecil, gue selalu dituntut harus sempurna. Keluarga besar bukan sekedar nama bagi Papa, itu juga kebanggaan. Makanya gue nggak pernah mau bersikap membangkang. Gue nggak pernah sanggup, Nay. Yang jadi korban, orang yang gue sayangi."
Tangannya memegang daerah pelipis dan sedikit memijat. "Karena tuntutan papa, gue harus selalu jadi nomor satu. Gue harus sempurna, Nay. Gue ..."
Kanaya tergerak untuk mengelus punggung laki-laki itu. Bukan hanya simpati, empatinya pun ikut meluap kala tiap kata muncul dari bibir Tebran.
"Gue nggak pernah mau ada yang menyaingi kepintaran gue dimana pun. Semua tertanam di diri gue sejak kecil, semua karena papa."
Tebran menutup kedua matanya dengan tangan. Dadanya mulai terasa sesak dan tak tertahankan. Ia ingin sekali meluapkan perasaan itu di hadapan Kanaya agar gadis di dekatnya ini mengerti.
"Pernah satu kali keputusan gue berujung pada nyawa. Kesalahan di waktu itu buat hidup gue dan orang di sekitar gue mulai berantakan, Nay. Gue bahkan ninggalin mama. Gue memang nggak berguna."
Air mata Tebran mulai mengalir saat membayangi pertemuan terakhir dengan mamanya setahun yang lalu.
Tubuh Tebran tertegun nyaman mendapatkan pelukan dari Kanaya. Hatinya mulai menemukan ketenangan setelah membuka kisah kelamnya."Gue nggak berguna jadi anak ..." lirihnya pelan. Napas Tebran mulai tak beraturan karena sesak di dadanya. Semua lara yang terbenam bertahun-tahun lamanya mulai pecah seiring dengan sentuhan hangat yang menjalar dari jemari Kanaya di punggungnya. Tebran merasakan kenyamanan. Kini Tebran sepenuhnya bertumpu dan bersandar pada gadis bintang itu.
"Buktikan dari sekarang kalo Lo mau jadi anak yang berguna."
"Gue mau, tapi gue nggak--"
"Lo bisa jadi nomor satu, 'kan? Nomor satu di sekolah Lo. Nomor satu kayak yang Lo inginkan. Kenapa nggak bisa jadi anak yang berguna buat orang tua Lo sendiri?" potong Kanaya tegas.
Meski berwajah imut, gadis itu terlihat serius. Tebran tak ingin membantah kalau Kanaya memang sepeduli itu padanya. Tebran merasa tertohok mendengarnya.Benar juga. Kenapa kalau ia bisa egois menjadi nomor satu di dunia ini, ia malah tak bisa jadi anak yang berguna untuk orang tuanya? Apa? Untuk orang tuanya? Yang benar saja!
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Bintang Bersinar
Teen FictionAda begitu banyak bintang yang bersinar di luar angkasa, tapi hanya Tebran saja yang cahayanya kian meredup. Kala dunianya hancur akibat keterpurukan dan keegoisan. Tebran bertemu dengan gadis bintang bernama Kanaya yang cahayanya berpendar tanpa ba...