🌠18| Keterlibatan

30 15 0
                                    

Silvia berjalan ke sana kemari di ruang belakang, tempat biasanya ia bersantai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Silvia berjalan ke sana kemari di ruang belakang, tempat biasanya ia bersantai. Tapi saat ini ia bukan sedang bersantai, Silvia awut-awutan memikirkan berbagai cara mengatasi masalah yang akan dihadapinya nanti. Benar, sekitar satu jam lagi Edi tiba di rumah.

Apakah ia akan berbohong lagi?

Tidak. Edi akan mengetahuinya. Edi tidak akan membiarkan Silvia melanggar perintahnya. Suaminya akan murka, pasti.

Sejujurnya Silvia sudah sangat takut. Bahkan tangannya sudah tremor. Ketakutan, kecemasan, segala perasaan negatif sudah menghinggapinya. Silvia merasa akhir dari kebahagiaannya akan tiba. Sepertinya kurang tepat, selama ini saja Silvia tidak pernah merasa bahagia. Tidak ada kebahagiaan dalam dirinya semenjak suaminya melakukan kekerasan kepadanya.

"Nomor anakku masih belum aktif. Apa yang dia lakukan selama ini?" Silvia terus menggerutu dan panik. Ia mencoba mencari jalan keluar dengan cara menghubungi anak keduanya. Akan tetapi yang ia dapatkan, tidak ada.

Tebran masih menghindarinya. Sudah satu tahun anaknya menghilang dari pandangannya. Lebih sakitnya lagi, sang anak tak pernah mau memberi kabar sedikit pun padanya.

Kalau tidak ada kabar begini. Silvia benar-benar akan gila. Silvia merasa tidak becus menjadi seorang ibu, seperti yang dikatakan suaminya. Edi yang selalu merendahkan dirinya sebagai seorang ibu sekaligus istri, itu semua menjadikan sebuah gunung penderitaan di hati Silvia.

Silvia juga manusia, yang akan terluka kalau harga dirinya diinjak-injak oleh suaminya sendiri. Silvia juga manusia, yang akan terluka kalau keberadaan anaknya, ternyata tak membuatnya berharga.

Mempunyai anak memang suatu anugerah, tapi dimiliki seorang ibu yang pecundang seperti dirinya. Mungkin sebuah penderitaan bagi anak-anaknya.

"Aku harus bagaimana lagi ... anakku sudah nggak peduli padaku lagi," lirih Silvia terjatuh ke lantai. Air matanya mengalir deras menjatuhi pipinya.

Ia menunduk ke bawah yang dimana di depannya ada sebuah kolam renang, tempat biasanya Tellan, anak sulungnya memanjakan tubuhnya dengan air yang segar disini. Segar di benaknya hanya tinggal kenangan, kolam renang itu menjadi tempat kesedihan untuknya.

Apakah Silvia boleh menyalahkan dirinya sendiri yang dahulu tidak mendengar kata orang tuanya?

Silvia menyadari kalau kehidupannya di masa sekarang adalah bentuk balasan dari masa lalunya yang terlalu berharap tinggi. Silvia salah menaruh harapan, kesalahan terbesar nya adalah Edi. Edi adalah kesalahan terbesarnya dalam memilih pasangan.

"SILVIA."

"KEMANA KAU!"

Silvia terpelonjak mendengar suara keras dan lantang dari arah ruang depan. Ia melirik jam yang tertera di layar ponselnya. "Terlalu cepat," gumamnya menyadari kebodohannya.

Edi bukanlah makhluk yang mudah ditebak. Ia selalu sesuka hatinya mengatur keuangan dan waktu yang ada. Keinginannya menjadi sempurna, bukan sekali dua kali Silvia dengar. Silvia yang begitu menghayati kesedihannya.

Dua Bintang Bersinar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang