🌠35| Kembali pulang

13 6 2
                                    

Tujuan utama Tebran kembali ke Jakarta bukan hanya ingin memperbaiki kesalahannya di masa lalu, akan tetapi ada hal yang perlu ia selidiki langsung ke tersangka utama menurut pemikirannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tujuan utama Tebran kembali ke Jakarta bukan hanya ingin memperbaiki kesalahannya di masa lalu, akan tetapi ada hal yang perlu ia selidiki langsung ke tersangka utama menurut pemikirannya.

Tebran menunggu seseorang yang sebentar lagi akan keluar dari sel penjara. Dengan tangan yang diborgol, sosok laki-laki yang Tebran kenal dipandu langsung oleh polisi untuk berjalan ke arahnya.

"Waktu kunjungan maksimal satu jam," peringat polisi pada Tebran dan juga tahanan.

Tebran mengangguk dan sorot matanya mendatar kala sepasang mata itu terarah ke Edi.

"Anak kurang ajar ... sedang apa kau disini?" Edi menyambut tak ramah.
Kehadiran Tebran membawa kemarahan yang selama ini tertahan.

"Papa nggak senang karena aku datang atau karena kekalahan papa waktu sidang kemarin?"

Ucapan Tebran hampir membuat Edi terbungkam, tapi ia membalas lebih pedih lagi.

"Saya tidak butuh kehadiran anak yang tidak tahu diri. Menjatuhkan nama baik keluarga dan pergi seenaknya karena perlindungan wanita yang gak becus."

Kedua alisnya bertaut jengkel. "Papa pikir aku pergi karena nggak bertanggung jawab? Aku pergi supaya aku bisa berbenah diri. Kalau aku nggak pergi. Mungkin selamanya aku dikekang oleh papa dan nggak bisa jadi diri aku sendiri."

"Masih untung kau bisa mendapatkan pendidikan. Dalam pengaruh papa pun kau takkan hidup kesusahan."

"Nggak, Pa. Aku nggak bakalan mau hidup di neraka itu lagi. Aku udah nyesal ikutin aturan papa," sentak Tebran.

"Karena penyesalanmu, keluarga kita jadi hancur. Dasar anak nggak tau diuntung kau, Tebran!" maki Edi.

"Jangan banyak omong kosong. Semua tindakan papa ke mama bisa Tebran laporkan ke polisi. Tebran saksi, Pa. Bukti perlakuan kasar nggak akan pernah hilang." Ancaman Tebran mulai mempengaruhi alam bawah sadar Edi.

"Kau! Jangan macam-macam kau Tebran!"

"Papa takut? Sekarang aku mau papa jujur ... kapan terakhir kali papa berkunjung, nggak, papa berkunjung ke tempat abang dan buat mentalnya hancur, 'kan? Papa pelakunya, 'kan?" tanya Tebran tak sabaran.

Desakan di hati Tebran membuncahkan kepedihan yang mendalam.

Edi tak banyak bicara. Namun, ia menyunggingkan bibirnya, tak seirama. "Kau sedih kehilangan si cacat mental dan bisu itu?"

Perlahan air matanya terkubung dan gemertakan giginya terdengar jelas. Edi jelas tahu, kalau anak keduanya tak menyukai kata-kata merendahkan. Meski bukan mengarah untuknya. Tapi, untuk orang yang disayanginya.

Ckitt!

Decitan kursi mengilukan indra pendengaran. Amarah Tebran tertahan, ia tak bisa melampiaskan sebab polisi yang berjaga masih mengawasi.

Dua Bintang Bersinar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang