🌠06| Khawatir

35 19 0
                                    

Kanaya masuk ke dalam tempat tinggalnya dengan langkah pelan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kanaya masuk ke dalam tempat tinggalnya dengan langkah pelan. Sebenarnya Kanaya tinggal di rumah ini bersama temannya yang bernama Verena. Mereka memutuskan untuk menyewa rumah sampai hari kelulusan. Kanaya dan Verena belum lama mengenal satu sama lain, tapi mereka sudah sangat dekat seperti saudara kandung. Umur mereka beda satu tahun beberapa bulan. Meski Verena lebih tua, Kanaya tak pernah memanggilnya kakak. Alasannya mereka hanya ingin menjadi sepantaran.

Verena mengikuti dari belakang. Ia memperhatikan Kanaya yang melepaskan jaketnya. Verena baru pertama kali melihat jaket asing itu.

"Jaket siapa, Nay?"

Kanaya menoleh ke belakang. "Oh, ini jaket punya Tebran."

"Cowok yang nganterin Lo tadi?" tanya Verena dengan mata memicing. Ingin usil, ia pun meyenggol lengan kiri Kanaya. Gadis itu tersentak.

"I-iya."

Wajah Kanaya sedikit memerah. Ia merasa sedikit gugup bila Verena bertanya tentang Tebran. Entah kenapa Kanaya masih teringat dengan kejadian tadi, saat hampir saja bibirnya menyentuh bibir milik Tebran.

Tanpa sadar Kanaya menghela napas. Meruntuki sikap cerobohnya yang terlalu bersemangat.

"Nay, Lo kenapa bisa sama cowok tadi? Nggak biasanya Lo deket sama cowok," Verena memegang dagunya mengingat sesuatu, "seingat gue, Lo cuma deket sama abang saudara Lo, 'kan?"

"Iya, kemarin gue nggak sengaja ketemu cowok yang sinarnya meredup. Gue tolongin dia. Terus gue ajak liat bintang hari ini."

"Cepet banget liat bintangnya. Biasanya juga Lo sampe jam sebelas di bukit." Verena melihat jam di dinding yang menunjukkan pukul sembilan malam.

Kanaya menunduk sedih. "Iya. Karena gue dikira demam. Padahal gue nggak demam," jelasnya, kini raut wajahnya berubah sendu.

"Lo nggak demam?"

"Iya."

"Sini gue pastiin dulu."

Verena menyentuh dahi Kanaya. Ia tidak merasakan suhu yang berlebih di kulitnya. Normal-normal saja. Kanaya memang benar, gadis itu sedang tidak demam.

"Terus kenapa tuh cowok ngira Lo demam?"

"Pipi gue panas tadi. Padahal gue bukan karena demam." Kanaya mengerucutkan bibirnya beberapa senti.

Verena terkekeh geli menatap ekspresi wajah Kanaya. "Oh ... Lo salting nih jadinya?" godanya sembari mencolek dagu Kanaya.

"I-iya ... gue salting. Gue merasa nggak biasa deket sama cowok."

"Abang Lo kan juga cowok. Harusnya biasa aja dong." Verena masih mencoba membuat Kanaya jujur dengan dirinya.

"Abang gue kan beda."

"Nggak. Mereka sama-sama cowok. Nggak ada bedanya. Emang apa bedanya?"

Kanaya berjalan menjauh. Ia mulai sulit menyembunyikan rasa malunya.
Akan tetapi Verena menahan gerakannya dan berdiri tepat di hadapannya. "Kenapa, Nay? Lo ada rasa sama cowok yang nganterin Lo tadi?"

Dua Bintang Bersinar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang