Tebran menunggu Kanaya di depan rumahnya. Tidak terlalu lama, Kanaya telah muncul dengan barang-barang di tangannya. Sebuah senyuman, menyejukkan hati Tebran di pagi hari.
"Pagi, Tebran."
"Pagi."
Mata gadis itu mengarah pada barang bawaannya. "Boleh bantu bawain?" tanya Kanaya yang disetujui oleh Tebran.
Beberapa menit mereka berdua sudah memasukkan barang-barang bawaan milik Kanaya yang barangkali sudah selesai. Agar tidak ada keraguan, Tebran yang membantu pun memastikan.
"Masih ada barang lain, Nay?" Tebran mengerti, kalau perempuan selalu memiliki barang bawaan yang banyak. Dicap sebagai ribet, Tebran malah menganggap bahwa perempuan ialah makhluk yang siap siaga. Meski tidak terlalu berguna, tetapi itu bisa menjadi pilihan lain.
Tidak ada yang tahu barang yang dibawa tidak berguna atau di situasi lain malah menjadi berguna, 'kan?"Gue masih ragu mau bawa kursi lipat atau nggak," ujar Kanaya mencurahkan keinginannya yang mengambang.
"Ada tikar. Nggak perlu, Nay."
"Gue mau bawa peralatan buat masak, nggak masalah?"
"Nggak."
Kanaya mengerjap kaget. "Hah?"
"Bawa aja. Nggak masalah." Tebran mendesah sembari menyembunyikan senyum tipisnya.
Menurutnya, Kanaya terlalu lugu, tapi lumayan keras kepala dan tegas. Dibalik sikap berani Kanaya selalu ada rasa peduli yang mendalam.
Tebran tidak tahu. Entah sejak kapan dia memperhatikan gadis itu. Kanaya terlalu keras kepala sebab kepedulian terhadap sesama bintang selalu membuncah dari dasar hatinya. Barangkali itulah mengapa Tebran tertarik untuk tetap bersama Kanaya. Tidak ada kenyamanan seperti Kanaya di sisi orang lain. Hanya Kanaya. Hanya Kanaya yang memberikannya rasa nyaman sekuat sinar mentari pada tengah hari.
"Um, gue mau neliti langit malam karena ada meteor shower. Gue bawa teleskop, niatnya juga mau dokumentasi. Nanti boleh bantuin gue bawa sama ..."
Jeda itu dipotong oleh Tebran. "Iya. Boleh. Bawa aja."
"Kenapa nggak nolak?" herannya. Kedua alis matanya naik.
"Permintaan Lo, berarti hari spesial Lo, 'kan? Hak Lo kalo mau dibantu gue."
Kanaya tersenyum senang. "Makasih ya. Gue memang nggak salah nolongin anak bintang kayak Lo."
🌠🌠🌠
Setengah perjalanan Tebran memikirkan perkataan Kanaya. Kalimat terakhir, paling akhir. Tidak salah menolong. Sungguh Tebran tidak tahu harus membalas seperti apa. Tebran buntu di jalan.
Maaf-maaf, bukan maksud perjalanan mereka. Akan tetapi, pikiran Tebran. Pikiran Tebran sudah tidak bisa menemukan jalan keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Bintang Bersinar
Teen FictionAda begitu banyak bintang yang bersinar di luar angkasa, tapi hanya Tebran saja yang cahayanya kian meredup. Kala dunianya hancur akibat keterpurukan dan keegoisan. Tebran bertemu dengan gadis bintang bernama Kanaya yang cahayanya berpendar tanpa ba...