🌠31| Panggilan tak dikenal

34 14 1
                                    

Kedua mata Tebran mengarah pada pusara yang terbentuk beberapa menit lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kedua mata Tebran mengarah pada pusara yang terbentuk beberapa menit lalu. Ia masih terdiam, tak mampu mengatakan sepatah katapun. Setiap kenangan yang pernah ada mengalun indah di ingatannya. Tebran tak pernah mengira, sang abang yang menjadi motivasi dalam hidupnya. Sang abang yang menjadi satu-satunya titik tumpu kehidupannya. Kini telah pergi tanpa pamit, pulang ke atas langit dan takkan pernah kembali ke bumi.

Sakit sekali. Tebran sungguh tak menginginkan akhir persaudaraan mereka menjadi sedramatis ini. Ikatan persaudaraan itu ... akankah terputus? Inikah tanda menghilangnya ikatan persaudaraan mereka? Tak mungkin, mereka masih tetap bersatu dalam ikatan darah. Meski kini telah berbeda dunia.

Tebran yang masih di bumi bersama kekejaman stigma manusia dan Tellan yang beranjak menuju langit bersama alam ketenangan.

Bolehkah Tebran menginginkan ketenangan itu juga? Kembali pulang di sisi sang pencipta alam semesta. Tuhan, bolehkah Tebran yang penuh kesalahan ini menghilang dari manusia segala noda?

Tebran tak bisa tetap tenang. Jiwa rapuhnya mulai tak tahan dengan goncangan kematian yang menimpa saudaranya. Inilah perasaan kehilangan. Tebran ingin sedikit dikuatkan. Walau sulit, walau dunia mungkin masih ingin menguji kemampuannya demi mengejar waktu untuk bersinar bersama bintangnya-Kanaya.

Sudut alisnya masih terangkat dan terus terangkat sampai genangan air mata yang tertahan di pelupuk mata itu terjatuh-membasahi wajahnya. Ingin sekali berucap kata, menguatkan dirinya agar dapat memberikan afirmasi positif pada jiwa nan rapuhnya.

Sulit. Sangat sulit. Birainya bergetar dan masih membuka mulut. Kini yang terdengar hanya suara kehancuran hati dan ketidakmampuan Tebran menahan sesak di dadanya.

Kanaya lemas. Hatinya ikut menghancur bersamaan luka yang ada di tubuh laki-laki di sampingnya. Ini bukan sekedar luka biasa. Inilah luka yang menghujam tahun demi tahun hingga membekas tak meninggalkan apapun selain rasa sakit.

Kalau orang lain mengatakan Tebran lemah. Justru bagi Kanaya, laki-laki itu sangat tegar menghadapi segala marabahaya dan risiko lukanya. Kanaya tak yakin bisa setegar Tebran. Dialah bintang di dunia ini yang sesungguhnya. Bintang yang sebenarnya memiliki sinar paling terang dari rasi bintang yang pernah ia kenal. Kanaya kalah telak-rasa egois itu tak mungkin bisa meredakan jiwa kerapuhan Tebran. Sekarang Tebran membutuhkan rasa peduli. Bukan egois akan kebersamaan mereka di masa depan.

Kekalahan atas rasa egois itu masih meninggalkan secercah harapan dan keberanian untuk Tebran. Melalui genggaman di jemarinya, Kanaya banyak berharap mulai sekarang. Bukan untuk masa depannya melainkan masa depan Tebran-orang yang paling ia pedulikan di jagat raya ini.

Tuhan, berikan kebahagiaan pada Tebran. Naya nggak bisa egois. Naya memilih mempedulikan Tebran. Tolong bantu Tebran memperbaiki jalan hidupnya. Naya ingin Tebran memiliki sinar paling terang di hati semua orang.

Tanpa ia sadari, air mata terus mengucur dari sudut matanya. Tebran mengeratkan genggaman tangan mereka. Saling menguatkan hingga keduanya mampu menerima kenyataan. Kenyataan yang sudah mereka pilih agar lebih tegar menjalankan takdir semesta. Pilihan hanya ada dua, mengalah atau egois. Egois bukan sifat inti Kanaya, ia kalah akan hal itu. Sekarang mengalah bukan berarti kalah. Kanaya yakin bintang-bintang di angkasa mau membantu supaya ia lebih kuat dari hari sebelumnya.

Dua Bintang Bersinar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang