"Tebran bersalah, Ma."
Kepalanya tertunduk menatap lantai dengan mata yang berkaca-kaca. Silvia tak kuasa menahan tangisnya pun menyentuh lengan putra keduanya dengan lembut.
"Tidak, sayang. Mama yang bersalah."
Tebran menoleh dengan guratan sedih. "Tebran seharusnya nggak minta tolong ngelakuin itu," lirihnya.
"Mama tau kamu sedang kebingungan saat itu, Nak. Nilai kamu dipertaruhkan. Mama juga nggak mau kalau papa marah sama kamu."
"Tebran udah berusaha, Ma. Kenapa papa minta aku selalu sempurna?" Alisnya bertaut sedih, "Tebran nggak bisa selalu sempurna. Manusia selalu punya kekurangan mau sempurna apapun. Iya 'kan, Ma? Apa Tebran salah?"
Silvia mengelus surai hitam anaknya dengan penuh kasih sayang. "Tidak. Kamu benar, sayang. Di mata mama kamu adalah kebenarannya."
Tebran mengulum bibirnya. Perkataan Silvia selalu memberinya ketenangan. Entah kenapa ia semakin yakin untuk melindungi mamanya. Mama adalah malaikat tak bersayap yang selalu menjaganya. Tebran menyayangi Silvia.
"Ma," ucap Tebran sembari memegang tangan sang mama.
"Ada apa, sayang?"
"Tebran mau minta satu hal sama mama."
"Apa itu, Nak? Kamu mau mama belikan apa?" Silvia bertanya dengan senyuman tipis.
"Kali ini bukan tentang barang, Ma. Keinginan Tebran ingin pergi jauh dari rumah." Ekspresi wajahnya berubah, Tebran dapat melihat perubahan raut wajah mamanya.
"Kamu ingin berjalan-jalan? Ingin rehat sebentar ya, Nak?"
"Beri Tebran waktu untuk memperbaiki diri, Ma. Tebran nggak bisa terus egois seperti ini. Tebran selalu tidak adil dengan teman-teman. Tebran merasa ini semua salah," terangnya berkesah.
"Tidak, Nak. Mama tidak mau kamu pergi jauh dari mama. Nanti yang akan menjagamu siapa? Mama tidak mau kamu kenapa-kenapa." Silvia memegang erat tangan anaknya.
"Ada Tebran, Ma. Tebran sendiri yang akan menjaga diri Tebran."
"Mama tau kamu bukan anak perempuan, tapi selama ini kamu selalu membutuhkan mama. Kamu belum pernah hidup tanpa mama. Mama takut kamu kesusahan, Nak."
"Ma ... tolong jangan begini. Tebran hanya ingin memperbaiki diri. Beri Tebran waktu ya, Ma?" Tebran menengadah agar air mata itu tak terjatuh dari kelopak matanya.
"Bagaimana sekolahmu, sayang? Jangan bolos ya. Nanti papamu bisa marah lagi."
Tebran menarik napasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan-pelan. Ia sudah yakin untuk mengatakannya sekarang. Keputusannya sudah bulat.
"Tebran berhenti sekolah, Ma."
Silvia tertegun mendengarnya. Refleks ia memegang kedua pundak anaknya. "Kamu tidak salah bicara 'kan, Nak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Bintang Bersinar
Teen FictionAda begitu banyak bintang yang bersinar di luar angkasa, tapi hanya Tebran saja yang cahayanya kian meredup. Kala dunianya hancur akibat keterpurukan dan keegoisan. Tebran bertemu dengan gadis bintang bernama Kanaya yang cahayanya berpendar tanpa ba...