21

5K 412 12
                                    

Seungcheol tidak pernah berada terlalu dalam saat berada dihutan sunyi, vegetasinya terlalu lebat, hujan yang datang kapan saja dan hewan-hewan melata yang cukup menganggu.

Ia sedang berjalan bersama para prajuritnya, menyusuri hutan yang semakin dalam semakin sulit untuk dibuka. Seungcheol menatap lantai hutan yang ia pijaki.

"Aku rasa kita berada dijalan yang tepat." Ujarnya. Ia bisa melihat beberapa dedaunan bahkan semak-semak yang terinjak-injak.

"Pangeran." Panggil salah satu prajuritnya, dan Seungcheol mendekat. Ia bisa mendengar suara orang-orang yang berbicara, serta suara-suara lainnya.

Mereka bersembunyi di balik pohon besar, mendengar mereka yang tengah membicarakan hal yang kurang ia mengerti, tetapi ia mendengar nama raja yang disebut.

Bukan, bukan bahasa mereka yang berbeda, tetapi suara mereka terdengar seperti berbisik. Hingga Seungcheol tidak bisa mendengarnya dengan jelas.

Mereka tetap siaga berada diposisi masing-masing, mendengar percakapan sebanyak mungkin yang bisa mereka dengar. Hingga ia mendengar kata omega dan nama ibunya disebut.

Seungcheol menjadi awas, waktu sudah sangat siang, sinar matahari mulai menelisik masuk dari sela-sela dedaunan, dan orang-orang yang tengah berbincang tadi, tidak lagi terdengar.

Mereka menunggu, hingga salah satu prajurit Seungcheol bergerak menerobos semak-semak yang melindungi mereka.

Menunggu adalah hal yang paling Seungcheol benci.

Jantungnya berdegup sangat kencang, sudah bersiap pada skenario hidup paling buruk, sudah bersiap mendengar teriakan salah satu prajurit terbaiknya yang meminta tolong ataupun berteriak menyuruh mereka untuk pergi.

Seungcheol tidak tahu seberapa lama ia menunggu, hingga akhirnya tidak ada suara apapun, tidak ada teriakan dan tidak ada suara derap kaki yang bergerak, ia memejamkan matanya, mempertajam telinganya dan kedua matanya terbuka lebar saat langkah kaki yang ia kenal berjalan menuju ke arah mereka.

"Pangeran!" Sang prajurit yang tadi menyelinap kembali, ia membawa sebuah kertas berwarna coklat yang Seungcheol kenali sebagai poster pemberitahuan tentang pernikahannya dahulu.

Dan benar, saat kertas itu disimpan di atas tanah, disana ia melihat wajahnya dan wajah Jeonghan yang digambar dengan skesta semirip mungkin, serta kertas lainnya yang berisikan wajah ibu dan ayahnya.

Yang membuat Seungcheol mengernyitkan dahinya adalah adanya garis merah yang saling bersilang diwajah Jeonghan.

"Kita harus pulang sekarang." Ujar Seungcheol, ia mengambil kertas itu dan memasukannya kedalam kantung celana, memastikan bahwa ia nembawanya pergi.

Ia sadar bahwa tempat yang mereka temui tadi bukanlah tempat sementara, mereka menemukan tempat pemukiman para kanibal yang mungkin sudah berdiam disana cukup lama.

Seungcheol berjalan dengan tergesa, di dalam kepalanya berkecamuk banyak hal, tentang Jeonghan, keluarganya, Jaejoong dan seluruh rakyat yang begantung kepada kerajaan.

"Setelah sampai, aku minta kalian bertemu dengan tuan Kim dan minta catatan tentang warga yang hilang dalam satu tahun terakhir." Ujar Seungcheol, jalannya berubah menjadi lari kecil, di belakangnya para prajurit mengikuti.

Perjalanan pulang mereka memakan waktu cukup panjang, saat malam mereka memilih untuk berhenti, sekedar menghangatkan tubuh dengan api unggun.

Sejak tadi, Seungcheol memikirkan banyak hal. Terutama kondisi Jeonghan, walaupun enigma nya mengatakan bahwa Jeonghan sangat kuat, tetap saja ia khawatir.

Ia menatap kertas besar yang berisi silsilah keluarganya, dengan Jeonghan yang baru bergabung. Kertas itu berada di atas meja tetua suku kanibal, dan yang membuatnya semakin yakin bahwa mereka adalah dalang dari kekacauan sebelumnya, karena gambar Eina disilang dengan warna merah.

Kingdom || Jeongcheol [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang