EMPAT PULUH SATU

337 20 0
                                    

Hari ini adalah hari pertama Khansa mulai masuk di sekolah barunya. Kayla dan Naufal memang sengaja memindahkan anak itu karena mereka berdua sudah memutuskan untuk menetap di Indonesia. Terkait pekerjaan Naufal di Turki, ia juga telah memutuskan untuk resign dan memilih bekerja di salah satu rumah sakit yang ada di Jakarta.

"Bunda, Khansa berangkat dulu, ya." Khansa meraih tangan Kayla lalu ia cium sebanyak tiga kali, punggung tangan-telapak tangan-punggung tangan. Hal itu ia dapatkan dari bundanya ketika mencium tangan Naufal.

"Hati-hati, ya, sayang. Semangat belajarnya!"

"Siap bun!"

"Masya Allah, ponakan Om sekarang dah besar, ya. Udah kelas tiga aja."

Kayla dan Khansa sontak menoleh mendengar suara itu, suara yang sangat mereka kenali.

"OM HAPISS, TANTE QILAA!!!" Khansa berteriak girang dengan kedatangan dua orang yang baru saja ia kenal beberapa hari lalu.

"Halooo cantik, tante bawain sesuatu nih buat peri kecilnya tante." Aqila menunjukkan sebuah bingkisan kepada Khansa lalu memberikannya pada anak itu.

"Wahh, makasih tante!"

Aqila terkekeh, ia mencubit pipi Khansa gemas. "Mirip Lo banget, Kay!"

"The real buah jatuh tak jauh dari pohonnya."

Aqila menjentikkan jari tengah dan jempolnya bersamaan tanda setuju dengan ucapan Kayla.

"Naufal mana, Kay?" Tanya Hafizh karena sedari tadi tidak melihat keberadaan Naufal.

"Disini, Bang." Sahut Naufal yang tengah berjalan menuruni anak tangga dengan membawa tas dan menenteng jas dokternya.

"Kalian tumben dateng nggak kabar-kabar dulu?"

"Orang deket masa iya wajib ngabarin dulu, Fal."

"Dibalik pertanyaan itu ada maksud 'ada perlu apa dateng ke rumah kita', gitu loh. Nggak peka banget emang dari dulu."

"Hahaha, entah abang yang nggak peka atau kamu yang nggak ngomong to the point, Fal."

"Aqil dan Mas Hafizh kesini mau ngobrolin sesuatu sama Kayla, Gus." Aqila menimpali.

"Naufal nggak diajak, nih?"

"Bukan begitu, Fal. Kami tuh tahu kamu orangnya super sibuk, jadi biar nanti Kayla aja yang ngasih tahu, ya."

"Okay, kalau gitu titip istriku yang cantik ini, ya. Dijagain, jangan disakitin."

"Iya-iya. Aman, Fal, aman."

Kayla hanya bisa menggelengkan kepala mendengar ucapan suaminya. Jika tahu Naufal masih sangat bucin, pasti itu akan menjadi topik pembicaraan bagi Hafizh dan Aqila nanti.

"Nice! Yuk Khansa, kita berangkat. Salim dulu sama om tante!"

--------

"Mau ngobrolin apa nih, btw?"

Kayla, Hafizh, dan Aqila kini sedang berada di halaman belakang rumah Naufal. Sengaja mereka memilih tempat itu untuk mengobrol, tak lain menuruti keinginan bumil cantik, Aqila. Ya, saat ini wanita itu tengah mengandung dan kini usianya telah menginjak enam bulan.

"Mungkin langsung kamu kasih aja, Qil, suratnya."

"Baik, mas."

Aqila mengambil sesuatu yang dimaksud Hafizh dari dalam tasnya, lalu memberikannya pada Kayla.

"Surat apa?" Bingung Kayla setelah menerima sebuah lipatan kertas yang Aqila berikan.

"Surat dari abah, kamu baca dulu aja, Kay."

Kayla mengangguk. Sesuai instruksi dari Aqila, Kayla membacanya hingga akhir. Namun, ada beberapa kalimat yang mampu membuatnya meneteskan air mata.

"Abah menulis surat itu dan menitipkannya kepada saya tepat sehari sebelum beliau meninggal. Abah nggak memaksa kamu untuk menyetujuinya, Kay, abah hanya ingin menantu abah ini yang melanjutkan perjuangannya di pesantren. Dan abah percaya, jika kamu bisa melakukannya." Jelas Hafizh semakin membuat Kayla bingung.

"Kenapa harus Kayla? Kan ada Gus Hafizh dan Aqila yang lebih pantas dan berhak atas itu."

"Jika ada seseorang yang jauh lebih mumpuni dibanding kami kenapa tidak? Ya, kan, Aqil?"

"Apa yang dikatakan Mas Hafizh benar, Kayla. Sudah saatnya kamu untuk melanjutkan dakwah abah."

"Nggak semudah itu, Qil."

"Aku tahu ini berat, tapi kamu tahu, kan, amanah tidak pernah salah memilih pundak?"

"Jangan khawatir, Kayla, kita akan jalani sama-sama. Saya, kamu, dan Aqila bersama-sama akan mengurus Pondok Pesantren Raudlatul Ulum dan melanjutkan perjuangan dakwah almarhum Abah Hussain."

------

Bel sekolah baru saja berbunyi, menandakan bahwa pelajaran telah selesai dan saatnya untuk pulang. Dengan semangat Khansa merapikan buku dan segera keluar kelas seperti murid-murid yang lain. Karena saking girangnya, Khansa sampai berlari dan tak sengaja menabrak seseorang sehingga gadis itu jatuh bersama orang yang ia tabrak.

"Aduh sakit!!" Keluh Khansa. Gadis itu meringis menahan sesuatu yang terasa sakit dibagian lututnya.

"Astaghfirullah, kaki kamu luka. Sini biar aku obati!"

Khansa diam tidak menjawab, ia mengamati cowok itu, terlihat sepantaran dengannya. Lantas menatapnya dengan kening yang mengernyit.

"Tenang, ibu aku dokter, aku udah diajari pertolongan pertama luka lecet sama ibu aku, kok." Seolah tahu apa yang ada dipikiran Khansa, cowok itu berusaha meyakinkan.

"Can I?"

Akhirnya, Khansa mengangguk dan membiarkan lukanya diobati oleh orang yang baru saja ia tabrak.

Cowok itu mencuci tangan di washtafel terdekat sebelum mengeluarkan kotak P3K yang selalu ia bawa di dalam tasnya.


"Sepertinya, aku baru lihat kamu. Anak baru?" Tanya cowok itu disela-sela membersihkan luka Khansa.

Khansa mengangguk.

"Kenalin, aku Fahmi Hareshanandra, kamu bisa panggil aku Fahmi."

Melihat Khansa yang tak kunjung membalas, membuat cowok itu menarik kembali uluran tangannya. Sebisa mungkin ia berusaha untuk tidak canggung, namun respon gadis itu diluar dugaannya.

"Nama kamu siapa?"

"Khansa."



"Oke Khansa, udah selesai nih." Fahmi mengakhirinya dengan membalut luka Khansa menggunakan kasa dan plester. Setelah itu, ia membereskan semua peralatan yang ia gunakan kemudian beranjak berdiri.

Fahmi mengulurkan tangannya didepan Khansa, "mau aku bantu?"

Khansa menggeleng, ia segera berdiri dan mengucapkan terimakasih sekaligus meminta maaf karena telah menabraknya.

--------

—To Be Continued—

After With You (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang