EMPATPULUH DUA

126 7 4
                                    

"Jadi abi dan ummi ingin kamu menggantikan posisi abi untuk memimpin perusahaan?"

"Iya, Mas."

Setelah kepergian Hafizh dan Aqila, Kayla mendapat telepon dari Fara agar segera ke rumahnya karena ada hal yang Fara dan Farhan ingin bicarakan kepada Kayla. Ternyata soal perusahaan. Mereka ingin Kayla mengurus perusahaan Farhan.

"Terus apa jawaban kamu tadi?"

"Beri Kayla waktu untuk memutuskan, banyak hal yang harus Kayla pertimbangkan, Mas."

"Kenapa nggak langsung setuju? Bukannya itu bagus? Apa yang sebenarnya kamu pikirkan sayang?"

Kayla menatap Naufal penuh arti. Ia berharap suaminya ini bisa mengerti akan keputusannya nantinya.

"Mas, jika kita dihadapkan dengan dua pilihan yang sama-sama berharganya, mana yang akan kita pilih? Apakah pilihan pertama atau kedua?"

"Maksud kamu?"

Kayla mengeluarkan secarik kertas dari saku gamisnya. Kertas yang baru saja diberikan oleh Hafizh dan Aqila, surat wasiat dari Abah Hussain.

Naufal mengernyit, "s-surat wasiat?"

"Mas baca dulu."

Usai membaca surat yang ditulis langsung oleh Abah Hussain, Naufal menatap Kayla tak percaya sekaligus haru. Naufal juga sempat meneteskan air mata tatkala melihat tulisan tangan itu.

"Kay?"

"Mas tahu, disatu sisi kamu merasa punya tanggung jawab mengurus perusahaan Abi karena kamu adalah satu-satunya pewaris keluarga Anggara. Tetapi disisi lain kamu juga memikirkan amanah di surat wasiat itu, karena kamulah satu-satunya menantu yang Abah percaya bisa memimpin pondok pesantren disaat putranya sendiri tidak bisa meneruskan perjuangan dakwah abahnya."

"Sayang, apapun keputusan kamu nantinya, Mas akan tetap mendukung kamu. Jangan lupa sholat istikharah, ya. Semoga keputusan yang kamu ambil adalah yang terbaik untuk kamu dan semua orang."

"Satu lagi," Naufal mendekatkan tubuhnya dengan tubuh Kayla. Mendekap erat seraya berkata, "Mas bangga sama kamu."

-----

"Assalamualaikum, Dokter Naufal."

Pandangan Naufal yang awalnya tertuju pada rekam medis pasien, akhirnya mendongak begitu mendengar suara tak asing baginya. "Wa'alaikumussalam, Darren, ada perlu apa datang kesini?"

Darren menyalami Naufal, kemudian duduk.

"Bagaimana kabar dokter?" Tanya Darren basa-basi.

"Alhamdulillah, baik. Kamu sendiri apa kabar?"

Senyum yang Darren lemparkan seakan menunjukkan bahwa dia tidak yakin dengan jawaban Naufal barusan. Terlalu banyak yang pria itu sembunyikan, menurutnya.

"Saya baik-baik aja, dokter. Saya kesini cuma mau tanya sesuatu."

"Apa?"

Darren lantas mengeluarkan selembar kertas berupa resume medis pasien. Dalam kertas itu, tertera nama pasien, diagnosa, dan tindakan.

Raut wajah Naufal seketika berubah setelah membaca kertas yang Darren berikan.

"Dapat darimana kamu?"

"Dok, kebetulan saya bekerja di Rumah sakit tempat dokter berobat. dan secara nggak sengaja, saya menemukan rekam medis yang bertuliskan nama lengkap dokter. Awalnya saya pikir itu hanyalah nama yang sama, tetapi setelah saya buka, saya yakin bahwa rekam medis itu adalah milik dokter. Saya sempat tidak percaya, dok, bagaimana mungkin dokter me—"

"Ya, kamu benar. Rekam medis itu milik saya."

Darren terdiam setelah ucapannya dipotong. Sementara Naufal tidak ingin jika Darren mengetahui semua tentangnya.

"Ada lagi yang ingin kamu tanyakan?"

"Istri dan anak dokter tahu tentang ini?"

"Apa urusan kamu bertanya seperti itu?"

"Saya tidak bermaksud ikut campur, dok. Saya hanya khawatir dengan kondisi dokter."

"Tidak perlu mengkhawatirkan saya. Akan lebih baik jika kamu tidak memberi tahu siapapun tentang hal ini. dan, jika sudah tidak ada urusan lain dengan saya, silakan bisa keluar dari ruangan ini."

"Baiklah, dok, saya pamit. Semoga operasi berjalan lancar."

Setelah kepergian Darren, Naufal tak langsung melanjutkan aktivitasnya, ia mengambil ponsel lalu menghubungi seseorang.

"Bisa kita bertemu sekarang?"

"....."

"Baik, saya segera kesana."

-----


Naufal menjalankan mobil dan melaju menuju sebuah tempat yang tak jauh dari rumah sakit. Sesampainya di lokasi, ia beranjak keluar lalu memasuki sebuah cafe untuk menemui seseorang. Tak lama, lambaian tangan mengarah kepadanya membuat Naufal langsung menghampiri orang itu. Ya, dia adalah orang yang ingin Naufal temui.

"Maaf, dokter Ram, sudah menunggu lama."

"Santai saja, saya dan istri saya juga baru sampai."

Naufal menoleh hendak menyapa istri rekannya yang tengah fokus menatap layar handphone. Merasa diperhatikan, wanita itu mendongak dan mendapati wajah tak asing tengah menatapnya terkejut.

"Naufal?"

"Dokter Calista?"

Naufal beralih menatap Rama sembari memasang wajah melongo seakan bertanya, "kok bisa?"

"The power of jalur langit, Fal, hahaha."

Jawaban yang Rama lontarkan tidak sedikitpun membuat jiwa kekepoan Naufal berkurang. Pria itu malah semakin penasaran dengan partner coasnya yang menikah dengan residen yang dulu dikabarkan menyukainya.

"Intinya dulu dokter Calista ngedeketin lo tuh cuma buat manas-manasin gue doang. Ya, kan, bun?"

"Setengah benar."

"Kok setengah? Setengahnya lagi kemana?" Ucap Rama tidak terima dengan jawaban dokter Calista.

"Setengahnya karena emang Naufal adalah coas paling aktif diantara coas-coas lainnya."

"Oke, semua coas juga mengakui itu." Ujar Rama.

"Yah, katanya mau bertemu klien? Mana klien ayah?"

Saat dirumah, Rama memang mengatakan ingin bertemu kliennya di cafe untuk membahas terkait operasi kliennya. Karena Calista memaksa untuk ikut, mau tidak mau dia harus menceritakan semuanya sekarang.

"Klien ayah sudah duduk di depan kita, bund."

Calista sontak menatap Naufal, raut wajahnya seketika berubah menjadi sendu.

"Na— "

"Naufal kamu?"


---------






















I'm back mentemenn^^
Huhuu setelah sekian lama hibernasi, akhirnya bangun jugaa jiakhh

Selamatt membaca kisah Kayla & Naufal kembali🤍

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 24 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

After With You (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang