08. Grim reaper

510 142 6
                                    

Lorong barak yang sempit beralaskan tanah padat menjadi saksi betapa kejamnya Jerman memperlakukan satu satunya perawat wanita yang ada di sana. Berbagai cemoohan dan perlakuan kasar kerap kali ia terima karena cap dirinya sebagai budak tawanan. Bahkan gadis itu sampai lupa jika hidup yang ia jalani sebenarnya, bukan di tempat ini. Ia lupa jika dirinya hanya seorang mahasiswi biasa yang sedang melakukan kegiatan magang namun entah bagaimana bisa terlempar pada masa dimana letusan peluru terdengar seperti meriah kembang api di tahun baru

Keadaannya sangat berbeda meski kedua tempat itu sama sama tempat perawatan dimana dokter dan pasien saling berinteraksi. Perbedaannya mungkin hanya di khususkan untuk Rosanné sebagai satu satunya wanita disana terlebih ia adalah seorang tawanan. Semua mata yang ada disana terus menatap Rosanné dengan nyalang seolah ia adalah hidangan lezat yang disajikan oleh negara musuh untuk mereka.

Sejak jendral tentara itu menyerahkan Rosanné untuk bertugas di barak, ia belum terlelap barang sesaat untuk melepas penat. Matanya harus dipaksa agar terjaga demi terlindung dari kejadian yang tidak ia harapkan. Dan sore ini, jendral dengan mata elang itu kembali.

"Hei Prancis!" Sebuah seruan suara bariton terdengar lebih mendominasi dari bising yang ada disana

Gadis itu, yang sedang membungkuk sembari membalut luka seorang prajurit dengan kasa menolehkan kepalanya perlahan membuat keduanya saling bertatapan. Singkat. Setelah Rosanné berdiri dengan sempurna ia segera mengikuti perintah sang jendral bak pelayan yang patuh akan tuannya.

"Bawakan satu kotak medis untukku," titahnya

Entah karena malas berbicara dengan Jeffryson atau karena memang dirinya telah pasrah akan takdir, Rosanné hanya menurut mengikuti jejak tapak kaki dari sol sepatu milik sang jendral tanpa bertanya akan dibawa kemana lagi kali ini.
Hanya ada tanah gersang dengan kerikil kecil sebagai pijakan kaki mungkin karena ini daerah perang jadi tidak ada tanah yang subur atau setidaknya terlihat sedikit rumput yang tumbuh.

Di ujung jalan sana terdapat sebuah bangunan besar yang setengahnya sudah runtuh. Bangunan dengan berdinding batu menjadi tempat tujuan mereka kali ini. Rosanné mulai tampak gusar, tangannya mencengkram erat kotak medis dipelukannya. Terlepas dari tatapan buas para petugas medis di barak kini ia malah dibawa menuju bangunan sepi yang sepertinya itu hancur karena terbakar.

"Jangan takut, kau akan bertemu orang orangmu di dalam sana." Jenderal itu seolah tahu apa yang sedang melanda hati Rosanné, ia menoleh sedikit ke belakang meski tetap melangkah dengan gagah

Kalimat itu tidak membuatnya tenang justru suara tegas milik sang jenderal terdengar seperti sebuah salam pembuka untuk kegiatan pembantaian. Ditambah angin sore yang berhembus semakin menambah ketegangan suasana disana. Menciptakan sensasi mencekam tersendiri.

Sayup sayup terdengar suara manusia dari dalam bangunan itu seolah masih ada kehidupan di dalamnya. Suasana semakin mencekam tatkala bau bau busuk menjajah indera penciuman, menerobos masuk bersama udara, memaksa agar siapapun yang berkunjung kesana dapat mengingat aroma ini.

"Apakah bangunan ini berhantu?" Akhirnya gadis itu memutuskan untuk membuka suaranya karena rasa penasaran sekaligus rasa takut yang menyerbu menjadi satu.

Tidak langsung menjawab, jenderal itu menghentikan langkahnya kemudian berdiri menghadap gadis di tawanannya. Jeffryson mencoba mencari sesuatu dibalik bola mata seindah lautan itu baru kemudian membuka suaranya, "apa kau takut?"

Sungguh, sebaiknya Rosanné tetap diam tanpa mengajukan apapun karena nyatanya hal yang biasapun akan terdengar menakutkan jika diucapkan dengan suara bariton itu.

"Sudah ku katakan kau akan bertemu orang orangmu, mereka tidak akan membunuhmu." Seringai tipis terpatri di akhir kalimatnya.

Jeffryson berputar kemudian melanjutkan untuk memimpin jalan.

GERMANY, 1917 (The Train Love and Fire)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang