Petugas yang tadi menanyai identitas Rosanné memperhatikan bahwa tidak ada identitas apapun yang bisa membuktikan klaimnya. Penasaran, petugas tersebut segera melaporkan hal ini kepada atasannya. Ketika atasannya mendengar laporan tersebut, ia sejenak terdiam, memikirkan kemungkinan yang lebih serius.
"Dia mengenakan seragam perawat Jerman, tapi dia berbicara bahasa Prancis dan tidak memiliki dokumen identitas apapun?" tanya atasannya dengan nada waspada.
"Benar, Herr Oberst," jawab petugas itu. "Dia mengaku bernama Rosanné Wilhelm, tetapi tidak ada catatan penumpang dengan nama itu. Dan dengan situasi perang yang semakin tegang, saya khawatir mungkin dia adalah mata-mata yang dikirim Prancis."
Atasan petugas itu semakin curiga. Dia memahami bahwa situasi di medan perang membuat setiap orang lebih waspada. Kesempatan seperti ini bisa digunakan oleh pihak musuh untuk menyusup dan mendapatkan informasi penting. Setelah beberapa saat mempertimbangkan, ia memutuskan untuk mengambil tindakan pencegahan.
"Kita tidak bisa mengambil risiko," kata atasannya akhirnya. "Segera amankan dia dan persiapkan untuk dikembalikan ke Prancis. Kita tidak bisa membiarkan kemungkinan adanya mata-mata di sini, apalagi dengan identitas yang meragukan seperti ini."
Petugas itu segera mengangguk dan bergegas melaksanakan perintah tersebut. Sementara itu, Rosanné, yang tidak menyadari kecurigaan yang berkembang di sekitar dirinya, terus berada dalam keadaan penuh kesedihan dan kebingungan, sepenuhnya tanpa menyadari ancaman baru yang kini mengintainya.
Rosanné dibawa oleh dua tentara menuju kendaraan militer yang akan mengantarnya kembali ke Prancis. Namun, kesedihan yang mendalam membuatnya hampir tak acuh terhadap apa yang terjadi di sekitarnya. Pandangannya kosong, dan langkahnya lemah, mengikuti saja arahan tanpa memberikan perlawanan atau pertanyaan.
Di dalam kendaraan, Rosanné hanya duduk diam, menatap ke luar jendela tanpa benar-benar melihat apapun. Hatinya hancur berkeping-keping setelah kehilangan Jeffryson, pria yang tanpa disadarinya telah mengisi seluruh ruang di dalam jiwanya. Pikirannya terperangkap dalam kenangan singkat namun mendalam bersama Jeffryson, senyumannya, tatapan tajam namun lembut, dan setiap momen kebersamaan mereka yang kini terasa begitu jauh, seperti mimpi yang tak pernah benar-benar terjadi.
Tentara yang mengawalnya berbicara sesekali, tapi Rosanné tidak mendengarnya. Suara mereka hanyalah gumaman tak bermakna di telinganya. Yang ada dalam pikirannya hanyalah Jeffryson dan kesadaran yang perlahan menggerogoti dirinya bahwa ia tidak akan pernah bisa melihatnya lagi.
Ketika kendaraan itu melintasi perbatasan, membawa Rosanné kembali ke tanah kelahirannya, dia tidak merasakan apapun. Baginya, tidak ada perbedaan apakah dia berada di Jerman, Prancis, atau tempat lain di dunia ini. Kehilangan Jeffryson membuatnya merasa hampa, seolah-olah sebagian besar dirinya telah lenyap bersama pria itu. Bagaimanapun, kemanapun dia pergi, perasaan kosong ini akan terus mengikutinya, membayangi setiap langkahnya.
Tentara-tentara itu mungkin melihatnya sebagai mata-mata yang perlu dikembalikan dengan hati-hati, namun Rosanné hanya seorang wanita yang tersesat dalam kesedihan dan kehilangan, terlalu lelah untuk melawan, terlalu hancur untuk peduli. Bagi Rosanné, tanpa Jeffryson, dunia ini tak lagi berarti.
Takdir yang begitu kejam bermain-main pada Rosanné yang lemah ini. Membawanya menuju dunia dimana ada Jeffryson yang tiba-tiba menikahinya lalu merebut Jeffryson dari dekapannya. Dan sekarang ia terjebak di dunia ini sendirian. Tanpa tahu harus kembali ke era asli miliknya dengan cara seperti apa. Bagaimana kehidupan setelah tidak ada Jeffryson di sisinya, tidak dapat Rosanné bayangkan.
Malam tiba membawa Rosanné di perbatasan Prancis. Petugas tadi menyerahkan Rosanné pada petugas perbatasan dengan mengatakan bahwa Jerman mengembalikan mata-mata mereka. Petugas perbatasan itu melihat Rosanné yang begitu kacau. Penampilannya sangat berantakan dan wajah yang menyedihkan.
Mereka, prajurit perbatasan, mengenal wajah gadis malang itu. Wajah yang beberapa kali mereka lihat terpajang di kantor pusat militer sebagai penghianat negara.
"Terimakasih telah menyerahkan gadis ini. Dia bukan mata-mata yang kami kirimkan, dia adalah buron yang selama ini dicari oleh negara." Prajurit itu menjelaskan
Rosanné terkejut karena ia dibawa kembali pada negaranya yang itu berarti hukuman telah menantinya. Namun tak ada tenaga untuk melawan atau membela diri lagi, dan tak ada lagi sosok yang menjaga dan melindunginya. Meski terkejut, namun yang dapat Rosanné lakukan hanya diam dan pasrah akan keadaan.
Prajurit Jerman menyerahkan Rosanné pada prajurit penjaga perbatasan. Kemudian saat itu juga beberapa dari mereka berangkat mengantar Rosanné menuju Département Mayenne dimana ia akan diserahkan.
Tempat itu adalah tempat yang sama dimana Rosanné menerima hukuman kala itu. Dalam perjalanan bersama prajurit itu, Rosanné mengingat saat-saat ia dengan Jeffryson. Perjalanan bersama Jeffryson ke tempat tempat di Jerman yang belum pernah ia singgahi untuk sebuah misi besar.
Air mata Rosanné kembali mengalir dengan isakan yang menyayat hati. Dia memeluk dirinya sendiri, menguatkan meski tak bisa menerima kenyataan sepahit ini.
"Jeff," gumamnya lirih dia terus memeluk tubuhnya dengan bayang bayang akan kenangan bersama Jeffryson yang terus melintas dalam benak.
Rasanya begitu singkat. Ia bahkan baru jatuh cinta pada Jeffryson, mereka baru menikah, namun rasanya semua itu hanya sebuah mimpi yang begitu jauh. Harapan-harapan kecil yang selalu mereka rencanakan tentang rumah masa depannya, tentang kue Pai, tentang taman bunga, tentang anak-anak yang akan mereka miliki, semua benar-benar hanya menjadi angan yang semu.
"Kau menangis karena akhirnya tertangkap tanpa perlu adanya penangkapan, nona?" Sarkas prajurit yang membawa Rosanné
Rosanné tak mempedulikannya hatinya teriris dengan kepedihan yang tak kunjung usai. Tak ada lagi Jeffryson yang akan datang menemukannya ketika ia dalam bahaya seperti ini.
"Aku merindukan suamiku." Itu jawaban Rosanné disela isakannya
Prajurit itu terbahak, "kalau begitu suruh suamimu datang menjemputmu!"
Tangisan Rosanné pecah, "Tidak bisa.." dadanya begitu nyeri dengan pernyataan sarkas yang keluar dari mulut prajurit itu. "Dia tidak bisa menemukanku lagi.. dia melupakan janjinya."
Perkataan Jeffryson tentang dia yang bisa menemukan Rosanné dimanapun bersembunyi terngiang-ngiang di kepala Rosanné. Nyatanya itu tidak lagi bisa ia dengar dari Jeffryson.
Duri yang selama ini menjaga sang bunga mawar dari segala bahaya sudah tidak lagi dapat menjaga.
Perjalanan ke Mayenne penuh dengan air mata dan bayang-bayang akan kenangan bersama Jeffryson. Tidak ada barang sedikitpun Rosanné diam dari tangisannya.
Begitu tiba di tempat yang di tuju, prajurit tadi menyeret Rosanné keluar. Diseret tangan gadis itu agar mengikutinya dengan benar. Rosanné hanya menurut tanpa mencoba melawan. Kali ini dia benar-benar pasrah.
Rosanné di bawa ke ruangan petugas yang bertanggung jawab. Dia diseret masuk kemudian bertemu tatap dengan sosok pria yang sama dengan yang saat itu menjatuhkan hukuman padanya.
Dalam ruangan itu, Rosanné melihat gambar dirinya terpajang begitu jelas dengan pengumuman bahwa ia adalah buron yang sedang di cari karena telah berkhianat pada negara. Rosanné tersenyum miris pada nasibnya yang begitu tak terduga.
Selanjutnya dia diseret kembali oleh prajurit tadi. Seolah merasa dejavu dengan lorong-lorong yang ia lewati dan suasana yang ia alami. Lorong yang sama, menuju tempat yang sama dimana dulu ia disekap dalam ruangan kosong yang tidak ada apapun didalamnya. Bedanya saat itu, setelah hukuman Jeffryson datang menyelamatkan dari hukuman selanjutnya.
Tidak dengan sekarang.
Tidak dengan saat ini.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
GERMANY, 1917 (The Train Love and Fire)✔️
Historical Fiction"𝘔𝘢𝘳𝘪 𝘣𝘦𝘳𝘵𝘦𝘮𝘶 𝘬𝘦𝘮𝘣𝘢𝘭𝘪 𝘥𝘪 𝘬𝘦𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘯𝘫𝘶𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪 𝘮𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢 𝘣𝘪𝘢𝘴𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢𝘪 𝘵𝘢𝘯𝘱𝘢 𝘳𝘢𝘴𝘢 𝘴𝘢𝘬𝘪𝘵" Ditengah kengerian Perang Dunia 1 Rosanne seo...