18. viens avec moi

430 126 8
                                    

Rosanné tidak menyangka ia akan dibawa pada kejadian mengerikan lagi. Seharusnya ia bertanya terlebih dahulu tadi, sebelum mereka sampai atau ketika berasa di sebelah Jeffryson saat di truk.

Tadi setelah meletakkan makanan yang sebelumnya diminta kembali oleh tuan jenderalnya, nyatanya ia malah diminta untuk mengekor menaiki sebuah truk ukuran sedang dengan bak di bagian belakangnya.

Empat orang prajurit duduk berhadapan diatas bak dan sepertinya mereka mulai bergosip tentang perawat Prancis yang terus mengekor pada Jenderal negaranya, Jerman. Rosanné acuh tak acuh memandang mereka.

Tanpa berniat penasaran, ia langsung masuk ke sisi kiri dan duduk diam tanpa bertanya apapun.

Tidak bertanya akan dibawa kemanakah ia kali ini atau bertanya mengapa ia harus ikut alih-alih bekerja di kamp perawatan.

Nyatanya tempat yang mereka tuju tidaklah jauh. Melewati hutan dan menyusuri jalanan berbatu sampa menemukan hamparan ladang hijau yang begitu subur.

Dari kejauhan sudah sangat terlihat jika kawasan itu sangat kaya akan sayur dan buah. Mungkin pemiliknya akan merasakan hawa sejuk dan damai, melupakan fakta bahwa tanah yang mereka hijaukan adalah yang paling dekat dengan pusat perang besar.

Sayangnya itu hanyalah suatu andai yang hanya terlintas jika Rosanné hanya melihat hamparan hijau di depan matanya. Sayangnya ia diajak turun ketika truk yang mereka bawa berhenti tepat disana.

Setelah Jeffry menyuruhnya turun dan tetap di sampingnya, Rosanné tidak diijinkan untuk menyuarakan apapun yang ia lihat.

Rosanné geram namun tak bisa berbuat apa-apa. Sedih namun ia juga ikut andil dalam perjalanan ini.

Suara melengking dari keenam pasukan tentara terdengar seperti ejekan yang saling bersahutan. Namun lagi-lagi Rosanné hanya bisa memandang apa yang ia lihat tanpa melakukan apa-apa.

Sampai mereka kembali pada truk yang kini baknya lebih sesak dari saat awal perjalanan,

"Kenapa, anda selalu membawaku untuk menyaksikan setiap penyiksaan." Seru Rosanné, tangannya memilin ujung seragam dengan wajah pucat pasi.

Jeffryson sang Jenderal tidak langsung menjawab, hanya menoleh sesaat lalu pandangannya kembali lurus ke jalanan "kau berharap apa saat perang? Sesuatu yang romantis?"

Rosanné bungkam. Ia tak dapat menyuarakan pendapat ataupun menjadi pahlawan dengan membatu keluarga yang sedang tertindas oleh pasukan Jenderal yang menjadi tuannya.

Tidak terpikir jika ia akan dibawa menempuh sekian Mill hanya untuk menyaksikan bagaimana sepasang suami istri yang sudah berusia lanjut harus bersujud memohon agar hasil kebun mereka tidak dirampas paksa seperti ini. Sementara cucu perempuannya yang mungkin masih berusia sepuluh atau sebelas tahun mencoba melindungi beberapa yang tersisa.

Begitu miris melihat tangan renta itu memohon meminta dikasihani, suara seraknya sama sekali tidak didengar.

"Keluarga mereka tidak ada yang ikut berperang," Tukas Jeffry setelah keheningan beberapa saat

Rosanné hanya menoleh menunggu kalimat selanjutnya yang hendak keluar dari mulut tuanya

"Jadi sudah seharusnya mereka menyerahkan hasil kebun untuk kami yang berperang."

"T-tapi mereka sudah tua dan cucunya juga masih kecil bukankah tak apa jika mereka dibebaskan," lirih Rosanné

"Tidak ada hak bebas untuk negara yang masih berperang, Rosé."

Rosanné merinding ketika namanya disebut di akhir kalimat. Dia langsung diam tidak berniat menyahut apapun lagi. Jeffryson adalah sosok menakutkan bahkan hanya dengan mendengar suaranya.

GERMANY, 1917 (The Train Love and Fire)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang