Sepulang dari urusannya dengan para petinggi militer, Jeffryson terlihat letih dan tenggelam dalam pikirannya. Wajahnya yang biasanya kokoh kini tampak sedikit suram, seolah beban berat yang selama ini dipikulnya sudah lebih dari tak terhingga. Sinar matahari menyinari tubuhnya yang tegap, tetapi kehangatan cahaya itu tak mampu menembus kabut kegundahan yang menyelimutinya.
Rosanné, yang sudah terbiasa memperhatikan gelagatnya, segera menangkap perubahan itu. "Apakah ada yang salah? Kau terlihat begitu lesu," tanyanya.
Jeffryson mendekat selangkah, menatap Rosanné dengan mata yang berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Ia mengambil satu tangan Rosanné, menuntunnya dengan lembut untuk mengusap pipinya. Di sana, dalam keheningan yang penuh makna, dihirupnya aroma tangan Rosanné seolah itu satu-satunya wewangian yang dapat membawa ketenangan ke dalam hidupnya yang penuh badai. Sentuhan itu, meski sederhana, terasa seperti pelukan hangat yang membungkusnya dari dunia yang keras.
Rosanné cukup terkejut, namun tak dapat menolak perlakuan Jeffryson padanya. Ada rasa nyaman yang menyusup pelan ke dalam hatinya, mengikis kegugupan yang sempat hinggap. Jeffryson berkata dengan suara lembut, "Aku ingin membawamu ke suatu tempat." Matanya menatap teduh pada Rosanné, seolah mengajaknya memasuki dunia lain di mana hanya ada mereka berdua.
"Kau mau kan?" Jeffryson mengangkat alisnya, mengajukan pertanyaan yang penuh harap. Rosanné hanya bisa mengangguk pelan, hatinya berdegup kencang. Kemudian Jeffryson menurunkan tangannya, tidak dilepas, namun ditautkan dengan telapak tangannya yang hangat. Mereka berjalan bergandeng tangan, menuju tempat yang Jeffryson siapkan.
Mereka berjalan tetap bergandengan tangan, melewati jalan setapak yang dilapisi daun-daun kering, membimbing langkah mereka menuju hutan yang kemarin mempertemukan Rosanné dengan Karl. Suara deburan ombak terdengar memecah batuan yang ada di sepanjang hadapan hutan, menambah ketenangan dalam keheningan yang menyelimuti mereka.
Rosanné, yang merasa sedikit penasaran, akhirnya memberanikan diri bertanya, "Kita akan pergi ke mana? Kau belum memberitahuku."
Jeffryson hanya tersenyum kecil, menatap Rosanné dengan mata yang menyimpan rahasia. "Tunggulah sebentar lagi," jawabnya lembut, suaranya seolah membisikkan janji. "Aku ingin ini menjadi kejutan untukmu."
Rosanné merasa ada kehangatan dalam suara Jeffryson yang membuatnya tenang meski tanpa jawaban pasti. Ia memandang jalan setapak yang mulai hilang diganti dengan semak belukar, menandakan mereka semakin mendekati hutan.
"Baiklah. Lalu apakah harus bergandengan seperti ini?" ujar Rosanné, mencoba mengalihkan rasa penasarannya dengan sebuah tawa kecil.
Jeffryson tertawa kecil menanggapinya. "aku tidak ingin kau tersesat" katanya dengan nada menggoda, Jeffryson merasakan genggaman Rosanné yang semakin erat, dan ia tidak bisa menahan perasaan bahagia yang mulai merasuk dalam dirinya.
"Kalau begitu kau boleh menuntunku sampai kita tiba di tempat itu."
Mereka melanjutkan langkah, menembus rimbunnya hutan hingga akhirnya tiba di sebuah kebun mawar liar yang tersembunyi. Mawar-mawar itu bermekaran, memancarkan warna merah muda dan putih di bawah terik matahari yang samar-samar masuk melalui celah ranting. Aroma bunga yang manis memenuhi udara, mengiringi kedatangan mereka dengan sambutan hangat. Rosanné terdiam sejenak, terpesona oleh keindahan yang ada di hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
GERMANY, 1917 (The Train Love and Fire)✔️
Historical Fiction"𝘔𝘢𝘳𝘪 𝘣𝘦𝘳𝘵𝘦𝘮𝘶 𝘬𝘦𝘮𝘣𝘢𝘭𝘪 𝘥𝘪 𝘬𝘦𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘯𝘫𝘶𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪 𝘮𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢 𝘣𝘪𝘢𝘴𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢𝘪 𝘵𝘢𝘯𝘱𝘢 𝘳𝘢𝘴𝘢 𝘴𝘢𝘬𝘪𝘵" Ditengah kengerian Perang Dunia 1 Rosanne seo...