Serangan besar-besaran yang melanda mereka sebelumnya telah berlalu, meninggalkan jejak kehancuran yang masih terasa dalam setiap sudut di garis depan. Suasana tegang di kamp dan parit-parit garis depan perlahan-lahan mereda, menggantikan dentuman senjata dan teriakan perintah dengan hening yang menyelimuti setiap sudut.
Asap dan debu yang sebelumnya menghalangi pandangan kini mulai mengendur, secara perlahan membiarkan sinar matahari menerobos, mengungkapkan pemandangan kerusakan dan kehancuran yang ditinggalkan oleh gelombang pertempuran.
Parit-parit yang tadinya penuh dengan hiruk-pikuk dan kekacauan sekarang tampak sunyi, hanya menyisakan bayangan-bayangan hitam yang terpancar dari reruntuhan dan tubuh-tubuh yang tergeletak diam. Bau mesiu dan tanah yang terbakar masih tercium, seolah menjadi pengingat bisu akan keganasan yang baru saja terjadi.
Di tengah semua itu, tentara-tentara yang selamat mulai keluar dari persembunyian mereka, wajah-wajah mereka yang lelah dan penuh debu mencerminkan betapa beratnya pertarungan yang baru saja mereka lalui. Mereka bergerak perlahan, saling membantu satu sama lain, mencoba mengembalikan sedikit ketertiban di tengah-tengah kekacauan yang masih tersisa.
Jeffryson tidak duduk diam, meskipun tubuhnya yang lelah meronta meminta istirahat. Dalam kondisi parit yang dipenuhi lumpur, bercampur dengan darah dan sisa-sisa pertempuran, dia tetap melangkah maju dengan tegap. Setiap langkahnya menciptakan bunyi gemericik di genangan lumpur, namun tak satupun rintangan itu mengurangi tekadnya untuk melihat langsung keadaan prajuritnya.
Matanya yang tajam mengamat-amati wajah-wajah prajurit yang tersebar di sepanjang parit. Wajah-wajah itu dipenuhi dengan keletihan yang mendalam, guratan lelah tampak jelas di setiap sudut mata mereka, namun ada sesuatu yang lebih dari itu. Di balik kelelahan, terdapat kilauan harapan yang masih tersisa. Mereka telah berhasil melewati serangan bersama-sama, dan kemenangan kecil ini memberikan mereka semangat untuk terus bertahan.
Dengan langkah mantap, Jeffryson mendekati satu per-satu prajuritnya, memeriksa kondisi mereka dengan penuh perhatian. Dia tidak hanya melihat luka-luka fisik yang mereka alami, tetapi juga berusaha menangkap beban emosional yang mereka pikul.
Setiap kali dia berhenti di depan seorang prajurit, dia menatap mata mereka dengan intens, memberikan senyuman tipis yang tulus. Dia tahu betapa pentingnya memberikan semangat pada saat-saat seperti ini.
"Kau sudah bekerja keras," katanya pelan namun tegas kepada seorang prajurit muda yang terlihat gemetar, "Tetap bertahan, kita akan melalui ini bersama."
Jeffryson terus bergerak, tidak melewatkan satu pun prajurit tanpa memberikan kata-kata semangat atau sekadar menepuk pundak mereka. Dia berbicara dengan setiap orang, menyebut mereka dengan nama, mengingatkan mereka bahwa mereka bukan hanya sekadar bagian dari pasukan, tetapi juga individu yang berharga.
Dalam suasana yang suram itu, kata-kata dan kehadirannya membawa sedikit kehangatan dan harapan. "Kita akan melewati semua ini," ucapnya dengan keyakinan yang tak tergoyahkan, "Dengan bekerja sama dan saling mendukung, kita akan bertahan dan menang."
Melihat Jenderal mereka yang tidak hanya memerintah dari belakang, tetapi juga terjun langsung ke garis depan dan menunjukkan perhatian yang tulus, memberikan dorongan moral yang besar bagi prajurit-prajurit tersebut.
Dalam keheningan yang menyelimuti parit-parit tersebut, semangat juang mereka mulai bangkit kembali, perlahan namun pasti, siap menghadapi hari-hari berat yang mungkin masih menanti di depan.
Dia berjalan melewati parit-parit lagi, melangkah hati-hati di lorong-lorong sempit yang sekarang dipenuhi lumpur akibat hujan deras semalam. Para prajurit berdiri tegak, memberikan hormat saat Jeffryson mendekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
GERMANY, 1917 (The Train Love and Fire)✔️
Ficción histórica"𝘔𝘢𝘳𝘪 𝘣𝘦𝘳𝘵𝘦𝘮𝘶 𝘬𝘦𝘮𝘣𝘢𝘭𝘪 𝘥𝘪 𝘬𝘦𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘯𝘫𝘶𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪 𝘮𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢 𝘣𝘪𝘢𝘴𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢𝘪 𝘵𝘢𝘯𝘱𝘢 𝘳𝘢𝘴𝘢 𝘴𝘢𝘬𝘪𝘵" Ditengah kengerian Perang Dunia 1 Rosanne seo...